Wednesday, January 18, 2017

Sistem Birokrasi Di Indonesia pada Masa Orde Baru, Reformasi dan Kabinet Kerja


            Orde baru diawali dengan runtuhnya pemerintahan Orde Lama yang berpuncak pada tragedi kemanusiaan (Gestok) tahun 1965. Presiden Soekarno menerbitkan Surat Perintah Sebelas Maret yang dikenal dengan SUPERSEMAR pada tahun 66 dengan memberikan wewenang kepada Mayjen Soeharto untuk melakukan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk mengembalikan stabilitas dan keamanan nasional. Langkah Politik yang diambil Soeharto adalah membubarkan PKI dan membersihkan kelembagaan dan pegawai negeri dari kegiatan PKI. Kebijakan politik tersebut menandai awal sterilisasi pemerintahan dari pengaruh partai politik (Dwiyanto,2006). Terlihat jelas visi awal pemerintahan orde baru adalah membebaskan pemerintah dari unsur politik. Sebuah pemikiran yang memberikan harapan bagi bangsa yang belum matang secara pemerintahan. Pandangan baru dari pematangan pemerintahan menjadi berfokus pada pembangunan. Pembersihan sistem birokrasi dari unsur politik tertuang dalam Permendagri nomor 12 tahun 1969, yang meletakan birokrasi dibawah pemerintahan pusat. Sistem tersebut nampaknya menjadi seperti suplemen energy, yang bila digunakan sesuai dosis baik bagi tubuh dan apabila digunakan melebihi dosis akan menjadikan penyakit. Penyakit yang muncul atas sistem sentralistis tersebut adalah birokrasi yang mengakar sampai kebawah digunakan untuk kepentingan politik penguasa yang mengatasnamakan golongan karya yang enggan disebut sebagai partai politik. Soeharto menganggap partai politik saat itu hanya ada dua yaitu PPP dan PDI, birokrat dilarang ikut kegiatan kedua partai tersebut tapi diwadahi dalam Golongan Karya milik pemerintah. Semua kegiatan pemerintah berada dibawah kuasa langsung dari Soeharto baik Lembaga departemen maupun Lembaga non Departemen pemerintah (Ditsospol, Bakorstanas, Kopkamtib, ABRI) sampai Lembaga Kemasyaraktan ( Korpri, HKTI, PKK, Karang Taruna, KNPI, KUD, Kadin). Semua dibawah kendali presiden digunakan untuk memobilisasi massa untuk mengamankan kekuasaan. Dapat disimpulkan dengan bahwa pada pemerintahan Orde Baru sistem birokrasinya cenderung ke Executive Ascendancy. Menurut Thoha,2002, Bentuk executive ascendancy beranggapan bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal dari rakyat atau dari public interest. Birokrasi hanya dijadikan subordinasi dari politik, hanya berlaku sebagai eksekutor dari kebijakan yang dibuat oleh Politik.
            Pada era reformasi, setelah selama 32 tahun birokrasi hanya sebagai pelaksana dari kebijakan politik terdapat semangat besar untuk membedakan ranah politik dan birokrasi. Sayangnya menurut saya hal tersebut tidak dilakukan pada era reformasi sampai saat ini. Pemahaman dan visi tentang tatanan pemerintahan baru nampaknya tidak terlihat pada era reformasi sampai saat ini juga. Sebagaimana disebutkan oleh Toha dalam bukunya Birokrasi Pemerintahan Indonesia di Era Reformasi (2008)
“ Adalah aneh dalam pemahaman ilmu administrasi (ilmiah) seorang Panglima TNI yang karier professional diuji (fit and proper test) oleh anggota dewan (lembaga politik), sementara seorang menteri yang jelas-jelas jabatan politik tidak dimintakan persetujuan dewan……sekarang ini dibidang kelembagaan birokrasi pemerintah ada menteri (kementerian) Negara yang sama tugasnya dengan Lembaga Pemerintah Non  Departemen…. Belum lagi ada kasus suatu departemen dipimpin oleh menteri baru yang tidak memahami Otonomi Daerah (UU No.32.2004) mengusulkan perluasan departemennya dengan menambah, mengubah, menggabung direktorat jendralnya meminta persetujuan Menpan dan disetujiu tanpa analisis mendalam. ”

Seperti yang disebutkan diatas perkembangan birokrasi pada era reformasi semakin tidak jelas arah dan tujuannya. Tidak ada pemisahan yang jelas antara jabatan politik dan jabatan professional. Hal tersebut terjadi sampai di pemerintahan daerah, bupati yang merupakan jabatan publik berwenang mengangkat, mempromosikan, memindahan dan memberhentikan pegawai professional dibawahnya. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Karl Marx (Ritzer,Goodman,2004) Birokrat hanya sebagai pelaku dari kebijakan politik ( Partai Pemenang). Pada saat ini ( pemerintahan Jokowi ) masih sejalan dengan yang dilakukan oleh pemerintahan reformasi. Bisa dikatakan lebih parah lagi, karena Jokowi tidak bisa menempatkan diri sebagai presiden yang merupakan pemimpin (kepala) dari semua warga Negara Indonesia. Akan tetapi lebih pada pejabat partai yang mengusungnya yaitu PDIP. Sangat sesuai dengan pandangan Karl Marx, padahal jika ditelaah kondisi Indonesia saat ini sangat berbeda dari jaman Karl Marx yang masih pada masa revolusi berusaha lepas dar cengkeraman kaum borjuis (kapitalis).
            Dapat disimpulkan menurut pengamatan saya sistem birokrasi yang terjadi pada masa Orde Baru, Reformasi, dan sampai saat ini masih sama seperti yang disebut Carino(1994) dalam Thoha (2008) yaitu birokrasi sebagi subordinasi dari politik atau disebut dengan Executive Ascendancy .


Referensi
Dwiyanto, Agus. et al. 2006 Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Gadjah Mada University  Press. Yogyakarta
Ritzer dan Goodman. 2004. Karl Marx and Varietas of Neo-Marxian Theory, McGraw-Hill, New York
Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Cetakan ke 3 Kencana , Jakarta

Thoha, Miftah. 20034. Birokrasi & Politik di Indonesia, Cetakan ketiga, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta

REVIEW JURNAL : The Publicness of Public Administration, Udo Pesch Administration & Society 2008



PENDAHULUAN
Pada saat modern seperti sekarang ini pemenuhan kebutuhan masyarakat semakin meningkat dan menimbulkan persoalan bagaimana cara memenuhi kebutuhan masyarakat. Persoalan tersebut akan mengakumulasi tidak hanya menjadi persoalan masyarakat, bahkan mengkristal menjadi persoalan negara/publik. Sesuai dengan tujuan dibentuknya Negara yang dikemukakan oleh Karl Marx yaitu Negara dibentuk untuk mengakomodasi dan mengatur kepentingan masyarakat yang ada di dalam suatu wilayah dan ada distribusi yang merata antar individu dalam suatu wilayah.
            Istilah publik sering dipahami oleh orang awam sebagai masyarakat atau persoalan/problematika yang ada dalam dan/ atau di seputar masyarakat. Pada gradasi/tingkatan menyangkut hajat hidup orang banyak dan pelayanan masyarakat, maka kata publik diartikan sebagai negara/pemerintahan (state/government). Menurut Hadriyanus Suharyanto (2005) publik mempunyai tiga pengertian yaitu: pertama, state dengan pengertian negara atau government dengan pengertian pemerintah; kedua, public interest atau kepentingan-kepentingan masyarakat; dan yang ketiga adalah social affairs atau persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Dengan pengertian tersebut, ruang lingkup administrasi publik meliputi organisasi, manajemen, komunikasi/informasi, financial/keuangan, personalia/kepegawaian, logistik/perbekalan, tata usaha, human relation/relasi publik.
Dalam teori administrasi publik, sejumlah pendekatan alternatif dalam membedakan organisasi publik dan swasta dibedakan. Menurut Rainey (1997), Bozeman dan Bretschneider (1994), dan Scott dan Falcone (1998), kita dapat membangun lima pendekatan yang berbeda:
1.      Pendekatan umum, yang mengasumsikan bahwa organisasi publik dan swasta
tidak berbeda secara signifikan. Perwakilan paling terkenal dari Pendekatan umum adalah Herbert Simon (1948/1997). Simon menulis bahwa organisasi publik dan swasta harus dipelajari secara bersama, bukan karena organisasi publik dan swasta yang serupa tetapi karena suatu organisasi harus dipelajari sebagai fenomena sosial yang berbeda (lihat juga Rainey, 1997). Argumen ini juga didukung oleh pertimbangan empiris: "Sementara kesamaan antara organisasi pemerintah dan non-pemerintah lebih besar pada umumnya, beberapa perbedaan tetap ada.
2. Inti pendekatan ekonomi, yang merupakan pendekatan yang dominan untuk organisasi publik. Pandangan ini didasarkan pada perbedaan antara negara dan pasar, yang tampil sebagai realita dimana barang-barang ekonomi diproduksi. Pendekatan inti ekonomi tampaknya menjadi pendekatan standar dalam literatur, dan itu memerlukan pandangan bahwa ada perbedaan penting antara organisasi publik dan swasta -atau organisasi negara dan pasar yang berdasarkan perbedaan dalam aset ekonomi, misalnya, kinerja, manajemen, dan struktur. Pada gilirannya, aset ini didasarkan pada modus produksi. Organisasi publik dan swasta yang terlibat dalam produksi barang, dan status publik atau swasta organisasi tersebut diperkirakan membuat perbedaan dalam cara produksi.
3. Inti Pendekatan politik, yang mengklaim bahwa organisasi publik memiliki pengaruh politik dan karenanya harus ditangani sebagai entitas politik. Berbagai penulis mengklaim bahwa dampak politik organisasi publik harus dipandang sebagai perbedaan utama antara publik dan organisasi swasta. Dengan kata lain, organisasi publik mempengaruhi cara kebijakan yang dibuat dan diundangkan. Ini berarti bahwa organisasi publik harus dinilai juga sebagai lembaga politik.
4. Pendekatan normatif, yang merupakan perluasan dari inti Pendekatan politik. Berbeda dengan pendekatan politik, pendekatan normatif tidak netral mengamati peran politik dari organisasi publik, tetapi menekankan peran dan mencoba untuk memanfaatkannya untuk memenuhi "kepentingan umum." Pendekatan normatif berkeinginan untuk sengaja menggunakan aspek politik organisasi publik. Organisasi publik tidak hanya harus menghasilkan barang dan jasa, tetapi juga harus bekerja atas nama "kepentingan publik", yang dipahami sebagai gagasan yang luas dan normatif.
5.  Pendekatan dimensi, yang mempekerjakan kedua pendekatan politik
dan pendekatan ekonomi.
Dua Versi dari Publicness Administrasi Publik
Ada dua versi konseptual untuk menjelaskan konsep publik dari administrasi publik. Versi tersebut dapat dibagi menjadi:
1.    Versi ilmu ekonomi yang mengaitkan makna publik dalam organisasi publik dengan makna publik dalam barang publik.
2.    Versi ilmu politik yang mengaitkan makna publik dalam organisasi publik dengan makna publik dalam kepentingan publik.
Kedua versi tersebut bertentangan dengan tujuan artikel ini yang ingin menemukan gambaran konsisten dari makna publik dalam administrasi publik. Ada tiga kemungkinan yang berkaitan dengan konsistensi kedua versi dalam menjelaskan makna publik. Kemungkinan pertama, kedua versi dibentuk dari konsep yang sama untuk menyusun sebuah kerangka kerja konseptual yang konsisten untuk makna publik dalam administrasi publik. Kedua, kedua versi tersebut pada hakekatnya memang berbeda, tetapi salah satunya relevan dan  memberikan makna publik dalam administrasi publik secara nyata. Ketiga, versi tersebut dapat menjadi pendekatan secara luas sebagai keterangan makna publik dalam administrasi publik yang paling tepat karena versi tersebut mendefinisikan makna publik dalam administrasi publik sebagai konsep yang terpisah dan berbeda sehingga tidak bisa digabungkan.
Udo Pesch menyatakan bahwa makna publik merupakan makna gabungan yang dilihat dari perspektif ilmu ekonomi dan ilmu politik, yang mengaitkan publik dalam organisasi publik dengan makna publik dalam barang publik dan kepentingan publik. Menurut saya, administrasi publik sebagai studi yang menekankan pada publicness harus mempunyai fokus perhatian pada pelayanan barang dan jasa publik; tidak dalam manajemen, tetapi lebih ditekankan pada hakekat publiknya. Administrasi publik diarahkan untuk menyelenggarakan kegiatannya yang mengingkari motif mencari keuntungan, berorientasi pada pengembangan administrasi publik yang demokratis dan pengembangan manajemen yang partisipatif (bukan hierarkhis).
Seperti tersebut diatas bahwa Udo Pesch menyatakan bahwa makna publik merupakan makna gabungan yang dilihat dari perspektif ilmu ekonomi dan ilmu politik, menurut saya hal ini kurang sesuai dengan konsep/pemikiran awal dari ilmuwan penemu ilmu administrasi publik yang menyatakan bahwa administrasi publik adalah sebuah disiplin ilmu yang terutama mengkaji cara-cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai politik. Hal tersebut sejalan dengan gagasan awal Woodrow Wilson (1887) yang dianggap sebagai orang yang membidani lahirnya ilmu administrasi publik modern di Amerika Serikat. Ia mengemukakan bahwa disiplin administrasi publik merupakan produk perkembangan ilmu politik, namun Wilson mengusulkan adanya pemisahan disiplin administrasi dari ilmu politik. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi. Ilmu administrasi publik, menurut Wilson, berkaitan dengan dua hal utama, yaitu:
1.      What government can properly and successfully do?
2.      How it can do these proper things with the utmost possible efficiency and at the least possible cost either of money or of energy?
            Bahkan pada paradigma terakhir dari teori administrasi publik yang oleh Denhardt dan Denhardt dinamai  New Public Service, dengan  karakteristik dimana pemerintahan dijalankan tidak seperti bisnis melainkan dalam nuansa demokrasi. Karakteristik yang lain adalah adanya penghargaan terhadap martabat manusia dalam pelayanan publik, para administrator lebih banyak mendengarkan dari pada memberi petunjuk serta lebih banyak melayani dari pada mengarahkan, warga negara dilibatkan bahkan didorong untuk wajib terlibat dalam proses pemerintahan serta para warga bekerja sama untuk mendefinisikan dan mengatasi masalah bersama dengan jalan kooperatif  yang saling menguntungkan. Saya menambahkan bagaimana mengukur publicness dari sektor public yang belum tercantum dalam artikel Pesch. Untuk mengukur publicness di sektor publik, Haque (2001) dalam Chairul Iman (2008) menjabarkan lima kriteria spesifik, yaitu:
1)      Dalam bidang administrasi publik, kriteria tradisional yang umum digunakan adalah perbedaan publik dan swasta. Walaupun batasan perbedaan yang semakin pudar antar entitas, publicness dari pelayanan publik dibedakan dari sifat pelayanan yang unik seperti persamaan hak dan kewajiban, keterbukaan, sifat kompleksitas dan monopolistik, serta dampak sosial yang luas dan jangka panjang. Oleh karena itu, publicness dari pelayanan publik dapat diragukan jika sifat-sifat tersebut tersingkirkan dengan prinsip manajemen bisnis.
2)      Publicness juga tergantung dengan demografi penerima pelayanan, dengan kata lain, tergantung dari banyaknya masyarakat yang dilayani. Walaupun demikian, komposisi ini berhubungan dengan faktor-faktor seperti jangkauan kepemilikan publik (semakin luas kepemilikan publik, maka publicness semakin tinggi) dan sifat kewarganegaraan. Kedua jangkauan ini penting untuk publicness karena, bahkan dalam sistem demokrasi yang sempurna, hanya dengan keberadaan interest group tidak menjamin mereka dapat mengekspresikan masalah yang dirasakan kaum marjinal.
3)      Salah satu faktor penting yaitu peran yang dijalankan publicness di masyarakat. Bahkan, salah satu fitur utama dari public goods adalah efektifitas atau jangkauan dampak sosial yang luas.
4)      Standar umum publicness adalah sejauh mana publicness tersebut dapat dipertanggungjawabkan dengan akuntabilitas publik.
5)      Ukuran sentral dari publicness adalah kepercayaan publik pada kredibilitas, kepemimpinan, dan kecepatan respon dari pelayanan publik dalam melayani masyarakat.
Teori-teori yang disajikan dalam artikel Udo Pesch oleh Wamsley dan Zald (1973) dan oleh Bozeman (1987) sudah lama dan terdapat kesan ada beberapa hal yang sudah tidak relevan. Sebaiknya teori-teori yang digunakan harus lebih dikembangkan lagi dengan mempertimbangkan perkembangan terbaru administrasi publik, seperti privatisasi, pemerintah kewirausahaan, dan globalisasi.
KESIMPULAN
Udo Pesch secara umum menyimpulkan bahwa administrasi publik tidak mengacu pada satu versi publicness/keumuman tetapi pada dua versi yang telah disebutkan. Kesimpulan ini berarti bahwa ada ambiguitas (makna ganda) yang mendasar dan sangat besar dalam keumuman administrasi publik yang menghalangi perkembangan kerangka konseptual yang konsisten dan sama. Administrasi publik dan juga teori administrasi publik diwariskan dari dua konseptualisasi keumuman yang berbeda bahkan saling berlawanan. Mengatasi identitas ambigu dalam teori administrasi publik jelas berarti bahwa pendekatan dimensi untuk perbedaan antara organisasi publik dan swasta harus diterapkan. Harus ada pembatasan yang jelas antara administrasi public dengan privat. Apabila administrasi public tidak dibedakan dengan sifat-sifat swasta maka fungsi dari birokrasi juga akan bias dan mengakibatkan money oriented dilakukan oleh birokrat. Siapa yang mempunyai uang itu yang akan dilayani sesuai dengan prinsip ekonomi secara umum. Ranah administrasi public harus jelas membedakan antara organisasi public dengan organisasi swasta agar visi misi dibentuknya negara tidak menjadi bias dengan pembentukan suatu perusahaan.

REFERENSI
Denhardt, Janet V.  and Denhardt, Robert B., 2007. The New Public Service, Serving Not Steering, Expanded Edition. Armonk, New York, London, England: M.E.Sharpe.

Iman, Chairul. 2008. Evaluasi Strategi Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual Pada Laporan Keuangan Pemerintah Menggunakan Model Kebutuhan Dasar. Skripsi. Universitas Indonesia.

Suharyanto, Handriyanus. 2005. Administrasi Publik: Entrepreeurship, Kemitraan, dan Reinventing Government. Media Wacana, Yogyakarta.

Wilson, Woodrow. 1887. The Study of Administration. The Academy of Political Science.

[1] Demokratisasi Politik dan Reformasi Administrasi Publik. http://home.unpar.ac.id



Perkembangan Ilmu Administrasi Publik di Negara Berkembang


Kajian dan praktek ilmu adminitrasi di berbagai negara terus berkembang seiiring berkembangnya kompleksitas masalah yang di hadapi oleh administrator publik. Kompleksitas persoalan ini ditanggapi para teoritisi untuk mengembangkan ilmu administrasi publik. Begitupun di Indonesia sebenarnya konsep  administrasi publik sudah ada pada jaman kerajaan. Secara disiplin ilmu mulai diajarkan sekitar Tahun 1950-an ketika administrasi publik yang telah berkembang pesat di luar diinstitusionalisasikan di Indonesia sebagai wujud komitmen negara maju untuk membantu negara yang sedang berkembang. Thoha (2008) menyebutkan semua masyarakat manusia, baik yang sederhana maupun yang kompleks senantiasa membutuhkan usaha administrasi[1]. Apalagi dalam konteks Negara administrasi sangat dibutuhkan. Pelembagaan kemampuan administrasi untuk mencapai tujuan bersama atau kolektif adalah merupakan pilar fundamental dari administrasi negara[2]. Administrasi public merupakan ilmu pengetahuan yang dinamis dan telah mengalami perubahan dan pembaharuan dari waktu ke waktu sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Paradigma yang muncul merupakan sudut pandang ahli tentang perananan dan tantangan Administrasi Publik dalam menjawab masalah yang muncul. Walaupun selalu muncul perdebatan dalam sebuah paradigm akan tetapi secara umum para ahli menilai ada empat perkembangan paradigma administrasi public. Dalam beberapa literature Administrasi Publik dari dalam maupun luar negeri secara umum terdapat empat paradigma yang berkembang dalam Administrasi public[3] yaitu : Old Public Administration (OPA), New Publlic Administration (NPA), New Public Management (NPM), New Public Services (NPS).
Old Public Administration
            Fokus dari paradigma Old Public Adminitration (OPA) adalah pada birokrasi pemerintahan. Dalam bukunya ”The Study of Administration”, Wilson berpendapat bahwa problem utama yang dihadapi pemerintah eksekutif adalah rendahnya kapasitas administrasi. Untuk mengembangkan birokrasi pemerintah yang efektif dan efisien, diperlukan pembaharuan administrasi pemerintahan dengan jalan meningkatkan profesionalisme manajemen administrasi negara. Untuk itu, diperlukan ilmu yang diarahkan untuk melakukan reformasi birokrasi dengan mencetak aparatur publik yang profesional dan non-partisan. Karena itu, tema dominan dari pemikiran Wilson adalah aparat atau birokrasi yang netral dari politik. Administrasi negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen ilmiah dan terpisah dari hiruk pikuk kepentingan politik. Inilah yang dikenal sebagai konsep dikotomi politik dan administrasi. Administrasi negara merupakan pelaksanaan hukum publik secara detail dan terperinci, karena itu menjadi bidangnya birokrat tehnis. Sedang politik menjadi bidangnya politisi. Fokus dari administrasi adalah pelayanan pada masyarakat dan netral dari kepentingan politik. Menurut A. S Moneir dalam Nugroho (2014) pelayanan publik adalah suatu usaha yang dilakukan kelompok atau seseorang atau birokrasi untuk memberikan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.[4] Pelayanan dari penyelenggaraan administrasi pemerintahan dalam jurnal tersebut adalah aparatur kepolisian bebas dari unsur politik. sesuai dengan administrasi public dalam paradigma Old Public Administration. Administrasi merupakan sub bagian dari politik atau penjalan kebijakan yang dibuat oleh politik.

New Public Administration
Fritz Morstein-Marx (Elements of Public Administration) yang menerangkan bahwa administrasi dan politik bisa dikotomi. Fritz menunjukkan adanya kesadaran baru mengenai administrasi yang ‘value free’ itu sebenarnya adalah value yang berat condongnya ke politik (Suharyanto, Hadriyanus, 2005). H. George. Frederickson menyebutkan dalam administrasi public not value free artinya tidak ada yang bebas nilai, bahkan administrasi public pun tidak bisa lepas dari nilai politik. Contoh nyata dari paradigma ini adalah era reformasi di Indonesia dibuatlah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang bertugas menkaji dan membuat kebijakan pembangunan jangka pendek dan menengah. Proses politik juga dimasukkan dalam adminsitrasi public untuk membuat kebijakan. Dalam paradigma ini fokusnya adalah membuat kebijakan yang efektif dan efisien.



New Public Management
Fokus dari paradigma NPM adalah pengadopsian prinsip-prinsip organisasi swasta kepada organisasi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan efisiensi. Dalam melakukan upaya perbaikan birokrasi, pada tahun 1992, David Osborne dan Ted Gaeblet menerbitkan buku Reinventing Government yang dilanjutkan dengan buku Banishing Bureaucracy pada tahun 1997. Reinventing Government merupakan salah satu aplikasi NPM yang pada hakikatnya adalah upaya untuk mentransformasikan jiwa dan kinerja wiraswasta (entrepreneurship) ke dalam birokrasi pemerintah. Jiwa entrepreneurship menekankan pada upaya peningkatan sumber daya baik ekonomi, sosial, budaya, politik yang dimiliki pemerintah untuk menjadi lebih produktif dan berproduksi tinggi. Kinerja ini kemudian dikenal dengan mewirausahakan birokrasi pemerintah yang menurut Osborne ada sepuluh prinsip yang harus dilakukan; pemerintah bersifat katalis, pemerintah milik masyarakat, pemerintah kompetitif, pemerintah berorientasi misi, pemerintah berorientasi pada hasil, pemerintah berorientasi pelanggan, pemerintah berwiraswasta, pemerintah partisipatif, pemerintah melakukan desentralisasi, pemerintah berorientasi pasar. Dengan melaksanakan kesepuluh prinsip ini pemerintah dapat meningkatkan kinerjanya. Dalam Asropi (2008)[5] menyebutkan Privatisasi di Indonesia mulai dilaksanakan sekitar tahun 1990an, setelah diterbitkannya Keppres No. 5/1988 yang berisi antara lain ketentuan tentang restrukturisasi, merger, dan privatisasi BUMN. BUMN yang pertama diprivatisasi adalah PT Semen Gresik pada Tahun 1991, melalui pelepasan 27 % saham pemerintah ke pasar modal. Tahap berikutnya, pada tahun 1994 pemerintah melepas 10 % sahamnya dari PT Indosat. Tujuan dari privatisasi birokrasi dalam hal ini BUMN adalah meningkatkan efektifitas, efisiensi, dan nilai tambah.[6]
New Public Services
 Munculnya paradigma NPS karena kritik terhadap NPM yang menempatkan masyarakat sebagai customers. Dasar teoritis paradigma NPS ini dikembangkan dari teori tentang demokrasi, dengan lebih menghargai perbedaan, partisipasi dan hak asasi warga negara. Dalam NPS konsep kepentingan publik merupakan hasil dialog berbagai nilai yang ada di tengah masyarakat. Nilai-nilai seperti keadilan, transparansi dan akuntabilitas merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam pelayanan publik. Paradigma NPS berpandangan bahwa responsivitas (tanggung jawab) birokrasi lebih diarahkan kepada warga negara (citizen’s) bukan clients, konstituen (constituent) dan bukan pula pelanggan (customer). Pemerintah dituntut untuk memandang masyarakatnya sebagai warga negara yang membayar pajak. Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi, sebenarnya warga negara tidak hanya dipandang sebagai customer yang perlu dilayani dengan standar tertentu saja, tetapi lebih dari itu, mereka adalah pemilik (owner) pemerintah yang memberikan pelayanan tersebut.[7] Dalam pandangan New Public Service, administrator publik wajib melibatkan masyarakat (sejak proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi) dalam pemerintahan dan tugas-tugas pelayanan umum lainnya.Tujuannya adalah untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik, sesuai dengan nilai-nilai dasar demokrasi, serta mencegah potensi terjadinya korupsi birokrasi. Administrasi publik sangat perhatian terhadap terwujudnya tata kepememerintahan yang baik dan amanah. Tata pemerintahan yang baik (good gonernance) diwujudkan dengan lahirnya tatanan kepemerintahan yang demokratis dan diselenggarakan secara baik, bersih, trasnparan dan berwibawa. Tata pemerintahan yang demokratis menekankan bahwa lokus dan focus kekuasaan tidak hanya berada di pemerintahan saja, melainkan beralih terpusat pada tangan rakyat. Penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik terletak pada konstelasi antara tiga komponen rakyat, pemerintah dan pengusaha yang berjalan secara kohesif, selaras, kongruen dan sebanding (Thoha, Miftah, 2005). Good Governance merupakan paradigma yang berkembang pada era NPS. Sinergitas antara ketiga stake holder merupakan upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, transparan dan efisien. Kata kunci pada paradigma governance adalah transparansi dan partisipasi. Misalnya dalam jurnal Saragih (2011) yang berjudul Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang Dan Kawasan[8] Partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk partisipasi politik masyarakat yang sangat penting dalam rangka menciptakan good governance. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (perda) dapat kita lihat dalam Pasal 96 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 12-2011 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukaan peraturan perundang-undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud tersebut dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya dan/atau diskusi. Senada dengan hal tersebut, dalam Pasal 139 Ayat (1) UU No. 32-2004 juga terdapat ketentuan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan perda.
Birokrasi di Indonesia pasca Reformasi
            Pasca runtuhnya era Orde Baru reformasi birokrasi berhembus begitu kencang. Trauma masalalu dari pemerintahan Soeharto yang otoriter menjadi dasar yang kuat untuk segera melakukan reformasi birokrasi. Birokrasi yang terlalu red-type di era Orba menjadikan pelayanan public kurang maksimal. Pemerintah menganggap dirinya sebagai kekuatan mutlak yang harus diikuti dan dipatuhi oleh semua warga Negara tanpa mau di control dan dikritik. Perilaku ini menimpulkan patologi birokrasi salah satunya yaitu penyakit Parkinson yaitu pembentukan struktur organisasi hanya untuk kepentingan politik tanpa ada tugas dan tanggungjawab yang jelas. Penyebab penyakit ini adalah sikap pemimpin yang proliferi yaitu pemimpin merasa memiliki kewibawaan yang besar saat mempunyai banyak bawahan.[9]  Penyakit ini juga sebagai gejala awal timbulnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Masyarakat saat itu hanya dijadikan sebagai objek pemerintahan. Masyarakat mulai bosan dengan sikap pemerintahan yang seperti itu yang sudah berjalan selama 32 tahun. Akhirnya pada tahun 1998 pemerintahan Soeharto diruntuhkan oleh aksi demonstrasi besar-besaran yang menuntut mundurnya presiden yang dianggap dalang korupsi. Seperti dilansir oleh World Bank (2009)
……. Indonesia was hit hard during the Asian financial crisis in 1997, GDP plummeted by 13%, the IDR lost 80% of its value almost wiping out the middle class. The country was mired in a deep recession. The economic crisis exacerbated separatist tensions and precipitated mass protests demanding a government free from corruption, collusion and nepotism (korupsi, kolusi, nepotisme or KKN), which was seen as one of the main causes of the crisis.[10]
Runtuhnya pemerintahan yang ditandai dengan mundurnya presiden Soeharto menjadi awal dari reformasi birokrasi pemerintahan Indonesia. Mulai dari sitem pemerintahan sampai sistem politik juga mengalami perombakan. Lembaga-lembaga pemerintah mulai melakukan reformasi pada birokrasinya masing-masing dibawah control Menpan-RB. Selain desakan dari internal Negara sendiri, reformasi birokrasi juga dilakukan guna menjawab tantangan global terhadap birokrasi di Indonesia. Tuntutan Global yang mengharuskan Indonesia melakukan reformasi birokrasi sesuai dengan konsep Good Governance dari UNDP [11]. Karakteristik pemerintahan yang baik menurut UNDP (Ronndinelli, 2007:9) adalah pemerintahan yang mampu menjalankan 9 prinsip : Participation, Rule of Law, Transparency, Responsiveness, Consensus Orientation, Equity, Effectiveness and efficiency, Accountability, Stategic Vision. Pemerintah Indonesia seperti mendapat angina segar, tanpa dipertimbangkan kesiapannya langsung menerapkan semua prinsip dari UNDP tersebut. Akibatnya bukannya pemerintahan tambah baik akan tetapi malah lebih parah akibat dari demokrasi utopis yang berlebihan. Bisa kita bandingkan dengan reformasi birokrasi yang dilakukan di India. India tidak secara mentah menerapkan prinsip good governance dari UNDP yang merupakan agenda setting untuk mengusai suatu Negara, India berfokus pada problem solving yang dihadapi. Seperti yang dibahas pada jurnal Aurora, Punit[12] yang menjelaskan bahwa :
            These don’t just exclude a large part of bureaucracy from the reform efforts, but also fail to address the factors external to the administration that hinge upon its performance. To be specific, the article presents evidence of the linkage between the deficiencies in the political, electoral and judicial system and the decline in performance of civil service. It reasons that it is meaningless to talk of administrative reforms without undertaking simultaneous reforms in political and electoral system.

Sebelum menerapkan proses demokarasi pemerintah India lebih memperhatikan tentang pelayanan public yang optimal. Finally, it suggests a more comprehensive reform agenda to improve the performance of civil service, and above all emphasizes the need for adopting the systems approach to problem-solving.[13]
Nampaknya pengaruh politik yang terlalu besar terhadap administasi public di Indonesia menyebabkan reformasi birokrasi sulit berjalan. Kepentingan politik ini tidak hanya dari partai politik yang berkuasa diparlemen akan tetaapi juga kepentingan politis dari lembaga-lembaga donor internasional yang ingin menguasai Indonesia. Salah satunya adalah agenda setting yang dilakukan IMF kepada pemerintahan Indonesia. Dengan penandatanganan perjanjian (letter of intent) dengan IMF Indonesia harus mematuhi kepentingan dari IMF dengan dalih pembangunan yang dikemas dalam reformasi birokrasi. Keadaan birokrasi Indonesia semakin terpuruk, dengan dana yang besar actor kapitalis global mampu menyetir pemerintahan dan kebijakan pemerintah Indonesia. Inilah penyebab Indonesia kurang berhasil dalam melaksanakan pelayanan public di taraf local maupun global. Kebijakan desentralisasi dan menjunjung tinggi demokasi –dalam hal ini partisipasi masyarakat- hanya  narasi formal belaka. Semua berkembang untuk kepentingan investor asing. Dalam jurnal Analisis Sosial, Vol.7, No.2 Juni 2002 yang berjudul demokrasi dan kemiskinan[14] menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan mendapatkan temuan bahwa demokrasi hanya sebuah topeng yang digunakan untuk melindungi dan memuluskan kepentingan privat.
Solusi yang penulis tawarkan adalah sebelum memulai reformasi birokrasi dalam konteks demokrasi dan good governance, alangkah lebih baik diperbaiki dulu pondasi masyarakat agar tercipta civil society. Pondasi itu menurut Thoha (1995) adalah pertumbuhan pendidikan, institusi demokrasi, dan menyebarnya komunikasi. [15] dengan dipenuhinya dan ditumbuhkannya hal tersebut makan akan secara otomatis meningkatkan partisipasi masyarakat. Demokrasi dan partisipasi masyarakat akan mencapai substansi tidak lagi hanya menjadi wacana utopis belaka. Sebelum pendidikan masyarakat diperbaiki sampai kapanpun Indonesia tidak akan mampu bersaing didunia global dalam segi apapun.



[1] Baca Thoha, Miftah. 2008. Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta : kencana. Halaman 11.
[2] Ibid. hlm 12.
[3] Baca Thoha. 2002. Dimensi-dimensi prima administrasi Negara edisi pertama cetakan ketujuh. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Halaman 25-40.
[4] Nugroho, Alih. 2014. Analisis Kualitas Pelayanan Aparatur Kepolisian Berdasarkan Model Importance Performance Analysis (Ipa) Dan Model Kano . Jurnal Administrasi Publik (JAP)Universitas Brawijaya. Malang, Vol. 2, No.8, Hal.2
[5] Asropi. Menilik kinerja privatisasi : perbandingan Malaysia dan Indonesia. Jurnal Administrator Borneo; Volume 4; Nomor 2; 2008; halaman 13.
[6] Ibid. hlm.14
[7] Erwan Agus Purwanto, “Pelayanan Publik Partisipatif ”, Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik, Editor: Agus Dwiyanto, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, halaman 187.
[8] Saragih, M Tomy. 2011. Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang Dan Kawasan. Jurnal Sasi Vol. 17 No. 3 Bulan Juli-September 2011
[9] Untuk lebih detail baca Thoha, Miftah. 2004. Birokrasi dan politik di Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
[10] Global Expert Team, P. S. P. 2011. Transforming the Public Sector in Indonesia Delivering Total Reformasi. World Bank Journal
[11] Penilaian UNDP terhadap keberhasilan suatu birokrasi sangat berpengaruh terhadap minat investor internaisional untuk menenanam saham di suatu Negara.
[12] Aurora, Punit. International Public Management Review · electronic Journal at http://www.ipmr.net
Volume 7 · Issue 2 · 2006 · © International Public Management Network. Page 82.
[13] Ibid.
[14] Arifin. Jurnal Analisis Sosial, Vol.7, No.2 Juni 2002. Bandung : Akatiga. Hal.12
[15] Thoha, Miftah. 1995. Birokrasi Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta : PD. Batang Gadis. Hal.42.

PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK BUNGA RAMPAI PERJALANAN KEILMUAN DARI PUBLIC ADMINISTRATION SAMPAI ke PUBLIC GOVERNANCE

PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK
BUNGA RAMPAI PERJALANAN KEILMUAN DARI PUBLIC ADMINISTRATION SAMPAI ke PUBLIC GOVERNANCE
Pendahuluan
            Ilmu pengetahuan atau teori merupakan buatan/temuan manusia manusia (Artifact). Dari dasar itulah sangat wajar apabila suatu teori mengalami perubahan atau penyempurnaan. Seperti halnya agama teori atau ilmu pengetahuan ditemukan di massanya adalah untuk mengatasi masalah di massa itu juga[1]. Teori muncul dari analisa yang dilakukan pada kejadian-kejadian yang telah berlangsung atau analisa yang dilakukan untuk menjawab kejadian yang telah berlangsung. Perkembangan atau perubahan suatu teori biasanya disebabkan karena ilmu atau teori yang ada dianggap sudah tidak relevan dan tidak bisa menjawab keadaan masalah yang muncul dimasyarakat pada waktu tertentu. Perkembangan itu biasa disebut sebagai paradigma. American Heritage Dictionary merumuskan paradigma sebagai Serangkaian asumsi, konsep, nilai-nilai, dan praktek-praktek yang diyakini oleh suatu komunitas dan menjadi cara  pandang suatu realitas ( A set of assumptions, concepts, and values, and practices that constitutes a way of viewing reality for the community that shares them). Sedangkan menurut Thomas Khun dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution memaknai Paradigma adalah suatu cara pandang , nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara memecahkan sesuatu masalah , yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada masa tertentu.
Menurut Thomas Kuhn , krisis akan timbul apabila suatu permasalahan yang dihadapi masyarakat tidak dapat dijelaskan atau tidak dapat dipecahkan secara memuaskan dengan menggunakan pendekatan suatu paradigma. Krisis ini akan mendorong suatu “scientific revolution” di kalangan masyarakat ilmuwan untuk melakukan penilaian atau pemikiran kembali paradigma yang ada dan mencoba menemukan paradigma baru yang dapat memberikan penjelasan dan alternatif pemecahan yang dihadapi secara lebih memuaskan. Administrasi Publik termasuk salah satu ilmu sosial yang relative flexsibel dalam perkembangannnya.
 Literatur di  Graduate School of Asia and Pacific Studies University of Waseda, Tokyo-JAPAN 2008 menyebutkan :
Public administrative culture is changing to be more flexible, innovative, problem solving, entrepreneurial, and enterprising as opposed to rule-bound, process-oriented, and focused on inputs rather than results.
Administrasi public merupakan ilmu pengetahuan yang dinamis dan telah mengalami perubahan dan pembaharuan dari waktu ke waktu sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Paradigma yang muncul merupakan sudut pandang ahli tentang perananan dan tantangan Administrasi Publik dalam menjawab masalah yang muncul. Walaupun selalu muncul perdebatan dalam sebuah paradigm akan tetapi secara umum para ahli menilai ada empat perkembangan paradigma administrasi public. Dalam beberapa literature Administrasi Publik dari dalam maupun luar negeri secara umum terdapat empat paradigma yang berkembang dalam Administrasi public[2] yaitu : Old Public Administration (OPA), New Publlic Administration (NPA), New Public Management (NPM), New Public Services (NPS).

Old Public Administration
             Paradigma administrasi public dimulai dengan Old Publik Administration atau administrasi publik lama[3]. Paradigma Administrasi Negara Lama dikenal juga dengan sebutan Administrasi Negara Tradisional atau Klasik. Paradigma ini merupakan paradigma yang berkembang pada awal kelahiran ilmu administrasi negara. Tokoh paradigma ini adalah antara lain adalah pelopor berdirinya ilmu administrasi negara  Woodrow Wilson dengan karyanya  “The Study of Administration”(1887) serta F.W. Taylor dengan bukunya “Principles of Scientific Management”.
Dalam bukunya ”The Study of Administration”, Wilson berpendapat bahwa problem utama yang dihadapi pemerintah eksekutif adalah rendahnya kapasitas administrasi. Untuk mengembangkan birokrasi pemerintah yang efektif dan efisien, diperlukan pembaharuan administrasi pemerintahan dengan jalan meningkatkan profesionalisme manajemen administrasi negara. Untuk itu, diperlukan ilmu yang diarahkan untuk melakukan reformasi birokrasi dengan mencetak aparatur publik yang profesional dan non-partisan. Karena itu, tema dominan dari pemikiran Wilson adalah aparat atau birokrasi yang netral dari politik. Administrasi negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen ilmiah dan terpisah dari hiruk pikuk kepentingan politik. Inilah yang dikenal sebagai konsep dikotomi politik dan administrasi. Administrasi negara merupakan pelaksanaan hukum publik secara detail dan terperinci, karena itu menjadi bidangnya birokrat tehnis. Sedang politik menjadi bidangnya politisi.
Ide-ide yang berkembang pada tahun 1900-an memperkuat paradigma dikotomi politik dan administrasi, seperti karya Frank Goodnow ”Politic and Administration”. Karya fenomenal lainnya adalah tulisan Frederick W.Taylor ”Principles of Scientific Management (1911). Taylor adalah pakar manajemen ilmiah yang mengembangkan pendekatan baru dalam manajemen pabrik di sector swasta –Time and Motion Study. Metode ini menyebutkan ada cara terbaik untuk melaksanakan tugas tertentu. Manajemen ilmiah dimaksudkan untuk meningkatkan output dengan menemukan metode produksi yang paling cepat, efisien, dan paling tidak melelahkan.Jika ada cara terbaik untuk meningkatkan produktivitas di sector industri, tentunya ada juga cara sama untuk organisasi public. Wilson berpendapat pada hakekatnya bidang administrasi adalah bidang bisnis, sehingga metode yang berhasil di dunia bisnis dapat juga diterapkan untuk manajemen sektor publik.
Termasuk dalam kelompok pelopor teori klasik adalah Frederik W. Taylor meskipun latar belakang pendidikan dan pekerjaannya adalah di bidang teknik, ia dikenal sebagai "bapak manajemen ilmiah". Pemikirannya yang cemerlang mampu mengembangkan suatu cara terbaik untuk metode kerja yang baru, menciptakan standar kerja, menemukan orang yang tepat untuk suatu jenis pekerjaan tertentu melalui proses seleksi dan menyediakan peralatan dan perlengkapan kerja yang terbaik bagi pekerja. Pelopor teori klasik lainnya adalah Henry Fayol dan Gulick dan Urwick dengan konsep POSDCORB yang merupakan gambaran kegiatan utama dari para eksekutif di dalam organisasi yang meliputi planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting yang melahirkan beberapa konsekuensi terhadap teori administrasi, seperti dikotomi antara politik dan administrasi sebagai bagian yang sentral dari proses administrasi.
Menurut beberapa literature, Max Weber adalah tokoh administrasi negara klasik yang mengemukakan teorinya mengenai birokrasi, namun terdapat perbedaan pandangan dalam hal ini. Terdapat kritik terhadap konsep Max Weber, pertama dalam hubungan antara masyarakat dan negara, implementasi birokrasi ditandai dengan intensitas per-UU-an dan kompleksitas peraturan, kedua, struktur birokrasi dalam hubungannya dengan masyarakat seringkali dikritisi sebagai penyebab menjamurnya meja-meja pelayanan sekaligus menjadi penyebab jauhnya birokrasi dari rakyat. Peningkatan intensitas dianggap memiliki resiko dimana apada akhirnya akan menyebabkan intervensi negara yang akan menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat dan pada akhirnya menyebabkan biaya penyelenggaraan birokrasi menjadi sangat mahal.[4]
Teori administrasi publik klasik berkembang dimulai pada abad 19 dikenal dengan istilah paradigma pertama [5] atau paradigma dikotomi Politik administrasi dari tahun 1900-1926. Paradigma ini mempermasalahkan mengenai dimana seharusnya administrasi negara itu berada, dengan tokohnya Frank J. Goodnow dan Lenand D. White yang mengatakan bahwa administrasi negara seharusnya berpusat pada birikrasi pemerintahan. Namun menimbulkan persolana diantara kalangan akademisi dan praktisi mengenai dikotomi politik-administrasi. Dijelaskan bahwa administrasi negara merupakan sub bidang ilmu politik.
Administrasi negara mulai mendapat legitimasi akademis pada tahun 1920-an dengan adanya ulasan dari Leonald White dengan bukunya Introduction to the Study Public Administration yang antara lain berisi; politik seharusnya tidak mengganggu administrasi.
Pada tahun 1927-1937 muncul prinsip untuk paradigma kedua yang mengembangkan prinsip-prinsip administrasi negara, bahwa terdapat perkembangan baru dalam administrasi negara dan mencapai puncak reputasinya. Sekitar tahun 1930-an administrasi negara banyakmendapat masukan dari bidang lain seperti industrial dan pemerintahan. Bahwa administrasi negara dapat menempati semua tatanan kehidupan. Tokoh pemikiran pada periode ini antara lain Mary Parker Follet, Henry Fayol, Frederick W. Taylor (Principle of Scientific Management), Max Weber yang memfokuskan pada pengaruh manajemen terhadap administrasi negara.
Pada tahun 1937 merupakan puncak akhir paradigma kedua dengan tokoh Luther H. Gulick dan Lyndall Urwick dalam tulisannya Paper on the Science of Administration yang terkenal dengan konsep POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgeting).  POSDCORB adalah suatu istilah yang mencakup tanggung-jawab eksekutif atas suatu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, penyusunan staf, koordinasi, pelaporan, dan penganggaran [6].
Pada tahun-tahun berikutnya merupakan tantangan bagi administrasi publik karena banyak konsep yang berusaha mengkritik konsep administrasi publik yang dianggap ortodoks (Suharyanto, Hadriyanus, 2005).
Dalam adminitrasi model klasik, tugas kunci dari pemerintahan adalah menyampaikan sejumlah pelayanan publik seperti membangun dengan lebih baik, sekolah, rumah, saluran pembuangan serta menyediakan kesejahteraan yang dapat diserahkan kepada aparat pemerintah dan politisi.  Administrasi publik menunjukkan dominasinya sebagai pemain utama, namun adanya sumber pembiayaan dari hasil pungutan pajak masyarakat menjadikan penyelenggaraan administrasi publik menjadi tidak efisien dan  menjadi salah satu kritik teori klasik administrasi publik.
Teori Neoklasik Administrasi Publik / New Public Administration
Setelah konsep POSDCORB, pada tahun 1938 terbit buku karangan Herbert Simon, Administrative Behavior yang berisi jika menginginkan administrasi negara bekerja dengan keharmonisan stimulasi intelektual. Tokoh lain adalah Fritz Morstein-Marx (Elements of Public Administration) yang menerangkan bahwa administrasi dan politik bisa dikotomi. Fritz menunjukkan adanya kesadaran baru mengenai administrasi yang ‘value free’ itu sebenarnya adalah value yang berat condongnya ke politik (Suharyanto, Hadriyanus, 2005).
Fase paradigma ketiga dikenal dengan teori-teori neoklasik dari administrasi negara maka yang menarik adalah pandangan Herbert Simon (1947) diatas tentang Konsep Rasionalitas Murni (Pure Rationality) dan Rasionalitas Terbatas (Bounded Rationality) pada proses pengambilan keputusan di dalam organisasi.
Selain itu, paradigma ketiga adalah penjelasan mengenai administrasi negara sebagai ilmu politik yang berkembang pada tahun 1950-1970. Fase ini berusaha untuk menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi negara dengan ilmu politik. Tahun 1962 administrasi negara bukan lagi dianggap sebagai bagian dari ilmu politik. Menurut Keban, Yeremias T. (2008)[7] muncul paradigma baru yang tetap menganggap administrasi publik sebagai ilmu politik dimana lokusnya adalah birokrasi pemerintahan. Pada akhirnya pada masa ini administrasi mengalami krisi identitas karena ilmu politik dianggap disiplin ilmu yang sangat dominan dalam administrasi publik.
Paradigma keempat pada periode 1956-1970 adalahmasa administrasi negara sebagai ilmu administrasi. Prinsip manajemen dikembangkankembali secara ilmiah danmendalam seperti perilaku organisasi, analisis manajemen, penerapan teknologi modern.  Pada masa ini terdapat dua jenis administrasi negara yaitu pengembangan ilmu administrasi murni yang berdasarkan pengaruh psikologi sosial dan ilmu administrasi yang menjelaskan mengenai public policy.
Sejumlah pengembangan dimasa ini seperti tahun 1960, Keith M. Henderson berpendapat bahwa teori organisasi seharusnya menjadi fokus utama administrasi negara. Sehingga berkembang Organizational Develompent (OD) atau Pengembangan Organisasi secara pesat sebagai spesialiasi dari ilmu administrasi.
Paradigma kelima berkembang sejak 1970 yang menempatkan administrasi negara sebagai administrasi negara. Pengembangan administrasi negara tidak hanya ditujukan pada locus administrasi negara sebagai ilmumurni tetapi juga pengembangan teori organisasi. Perhatian pada teori organisasi terutama ditujukan pada bagaimana dan mengapa organisasi bekerja, perilaku individu dalam organisasi dan bagaimana keputusan diambil dalam organisasi. Dan kemudian berkembang pula ilmu kebijaksanaan (policy science), politik ekonomi, proses kebijakan pemerintah dan analisisnya dan cara pengukuran kebijakan. 
Setelah perkembangan paradigma seperti diuraikan diatas dikemukan oleh Nicholas Henry, pada tahun 1982 terdapat pendapat yang merinci beberapa aliran dalam administrasi publik yaitu aliran proses administrasi yang meliputi aliran empiris, pemgambilan keputusan, matematik dan aliran sistem administrasi holistic yang terdiri dari aliran perilaku manusia, aliran analisis birokrasi, aliran sistem sosial dan aliran integratif (Keban, Yeremias T, 2005).
Pada tahun 1992, terjadi pergeseran paradigm yang dikenal dengan post bureaucratic paradigm yang dikemukan oleh Barzelay tahun 1992 dan oleh Armajani tahun 1997, paradigma ini menekankan; hasil yang berguna bagi masyarakat, kualitas dan nilai, produk dan keterikatan terhadap norma, mengutamakan misi, pelayananan dan hasil akhir (outcome), menekankan pemberian hasil bagi masyarakat, membangun akuntabilitas dan memperkuat hubungan kerja, pemahamamn dan penerapan norma-norma, identifikasi dan pemecahan masalahs serta proses perbaikan yang berkesinambungan, memisahkan pelayanan dan control, memperluas peilihan pelanggan, mengukur dan menganalisis hasil dan memperkaya umpan balik (Keban, Yeremias T, 2005).

New Public Management
Adanya kritik mengenai teori-teori administrasi klasik dan neoklasik menyebabkan adanya pembaharuan dalam penyelenggaraan administrasi publik sehingga menyebabkan adanya perubahan dalam penyelenggaraan administrasi publik yang kemudian memunculkan konsep baru dikenal dengan New Public Management. Konsep ini pada awalnya ingin mengemukakan pandangan baru yang bisa mencerahkan konsep ilmu administrasi. Khusus konsep New Public Management biasanya diperlakukan untuk kegiatan bisnis dan sektor privat. Inti dari konsep ini adalah untuk mentrasformasikan kinerja yang selama ini dipergunakan dalam sektor privat dan bisnis ke sektor publik. Slogan terkenal yag digunakan adalah mengatur dan mengendalikan pemerintahan tidak jauh bedanya mengatur dan mengendalikan bisnis – run government like business. Lebih lanjut konsep ini meninjau kembali peran administrator publik, peran dan sifat dari profesi administrasi (Thoha, Miftah, 2005).
Selain kritik terhdap teori klasik, munculnya New Public Management (NPM)  juga dipicu dengan adanya krisis negara kesejahteraan di New Zeland, Australia, Inggris, Amerika yang kemudian didukung adanya promosi dari IMF, Bank Dunia dan serikat persemakmuran dan kelompok konsultan manajemen. Di negara-negara ini perkembangan yang terjadi di bidang ekonomi, sosial, politik dan lingkungan administrasi secara bersama mendorong terjadinya perubahan radikal dalam sistem manajemen dan administrasi publik. Perubahan yang diinginkan adalan peningkatan cara pengelolaan pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat agar yang lebih efisien, efektif (Kurniawan, Teguh).
Tema pokok NPM adalah menggunakan mekanisme pasar sebagai terminologi sektor publik dengan cara para pimpinan dituntut untuk; berinovasi untuk memperoleh hasil yang maksimal atau melakukan privatisasi terhadap fungsi pemerintah; pemimpin melakukan streering, membatasi terhadap pekerjaan atau fungsi mengendalikan, gaya pimpinan yang memberikan arah yang strategis; menitikberatkan pada mekanisme pasar dalam mengarahkan program publik; menghilangkan monopili pelayanan publik yang tidak efisien yang dilakukan oleh instansi dan pejabat pemerintah; dalam birokrasi publik diupayakan agar para pimpinan brokrasi meningkatkan produktivitas dan menenukan alternative cara pelayanan publik berdasarkan perspektif ekonomi; pimpinan didorong untuk memperbaiki dan mewujudkan akuntabilitas publik kepada pelanggan, meningkatkan kinerja, melakukan restrukturisasi lembaga birokrasi publik, merusmuskan kembali misi organisasi, melakukan streamlining pada proses dan prosedur birokrasi dan melakukan desentralisasi proses pengambilan kebijakan.  Hal Ini dimaksudkan untuk melakukan kompetisi dalam unit kerja pemerintahan baik secara internal maupun lintas sektor organisasi.
Dalam melakukan upaya perbaikan birokrasi, pada tahun 1992, David Osborne dan Ted Gaeblet menerbitkan buku Reinventing Government yang dilanjutkan dengan buku Banishing Bureaucracy pada tahun 1997. Reinventing Government merupakan salah satu aplikasi NPM yang pada hakikatnya adalah upaya untuk mentransformasikan jiwa dan kinerja wiraswasta (entrepreneurship) ke dalam birokrasi pemerintah. Jiwa entrepreneurship menekankan pada upaya peningkatan sumber daya baik ekonomi, sosial, budaya, politik yang dimiliki pemerintah untuk menjadi lebih produktif dan berproduksi tinggi. Kinerja ini kemudian dikenal dengan mewirausahakan birokrasi pemerintah yang menurut Osborne ada sepuluh prinsip yang harus dilakukan; pemerintah bersifat katalis, pemerintah milik masyarakat, pemerintah kompetitif, pemerintah berorientasi misi, pemerintah berorientasi pada hasil, pemerintah berorientasi pelanggan, pemerintah berwiraswasta, pemerintah partisipatif, pemerintah melakukan desentralisasi, pemerintah berorientasi pasar. Dengan melaksanakan kesepuluh prinsip ini pemerintah dapat meningkatkan kinerjanya.




New Public Service
Setelah konsep dari Denhardt dan Denhardt mengenai Old Public Administration (teori klasik dan neoklasik) dan New Public Management, maka konsep yang ketiga adalah New Public Service (NPS).
Secara umum alur pikir NPS menentang paradigma-paradigma sebelumnya (OPA dan NPM). Dasar teoritis paradigma NPS ini dikembangkan dari teori tentang demokrasi, dengan lebih menghargai perbedaan, partisipasi dan hak asasi warga negara. Dalam NPS konsep kepentingan publik merupakan hasil dialog berbagai nilai yang ada di tengah masyarakat. Nilai-nilai seperti keadilan, transparansi dan akuntabilitas merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam pelayanan publik. Paradigma NPS berpandangan bahwa responsivitas (tanggung jawab) birokrasi lebih diarahkan kepada warga negara (citizen’s) bukan clients, konstituen (constituent) dan bukan pula pelanggan (customer). Pemerintah dituntut untuk memandang masyarakatnya sebagai warga negara yang membayar pajak. Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi, sebenarnya warga negara tidak hanya dipandang sebagai customer yang perlu dilayani dengan standar tertentu saja, tetapi lebih dari itu, mereka adalah pemilik (owner) pemerintah yang memberikan pelayanan tersebut.[8] Dalam pandangan New Public Service, administrator publik wajib melibatkan masyarakat (sejak proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi) dalam pemerintahan dan tugas-tugas pelayanan umum lainnya.Tujuannya adalah untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik, sesuai dengan nilai-nilai dasar demokrasi, serta mencegah potensi terjadinya korupsi birokrasi.
Ada tujuh prinsip NPS (Denhardt & Denhardt, 2000,2003, 2007) yang berbeda dari NPM dan OPA yaitu :  Pertama; Peran utama dari pelayanan publik adalah membantu masyarakat mengartikulasikan dan memenuhi kepentingan yang telah disepakati bersama, dari pada mencoba mengontrol atau mengendalikan masyakat kearah yang baru. Kedua, administrasi publik harus menciptakan gagasan kolektif yang disetujui bersama tentang apa yang disebut sebagai kepentingan publik. Ketiga, kebijakan dan program yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan responsive melalui upaya-upaya kolektif dalam proses kolaboratif. Keempat, kepentingan publik lebih merupakan hasil suatu dialog tentang nilai-nilai yang disetujui bersama dari pada agregasi kepentingan pribadi para individu.Kelima, para pelayan publik harus memberi perhatian tidak semata pada pasar, tetapi juga aspek hukum dan peraturan perundang-undangan, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standard professional dan kepentingan warga masyarakat. Keenam, organisasi publik dan jaringan-jaringan yang terlibat akan lebih sukses dalam jangka panjang kalau mereka beroperasi  melalui proses kolaborasi dan melalui kepemimpinan yang menghargain semua orang, dan Ketujuh kepentingan publik lebih dikembangkan oleh pelayan-pelayan publik dan warga masyarakat, dari pada oleh manager wirausaha  yang bertindak seakan-akan uang milik mereka.
Tabel 1. Pergeseran Paradigma Administrasi Negara
Aspek
Old Public Administration
New Public Management
New Public Service
Dasar teoritis dan fondasi epistimologi
Teori politik
Teori ekonomi
Teori demokrasi
Konsep kepentingan publik
Kepentingan publik secara politis dijelaskan dan diekspresikan dalam aturan hukum
Kepentingan publik mewakili agregasi kepentingan individu
Kepentingan publik adalah hasil dialog berbagai nilai
Responsivitas birokrasi publik
Clients dan constituent
Customer
Citizen’s
Peran pemerintah
Rowing
Steering
Serving
Akuntabilitas
Hierarki administratif dengan jenjang yang tegas
Bekerja sesuai dengan kehendak pasar (keinginan pelanggan)
Multiaspek: akuntabilitas hukum, nilai-nilai, komunitas, norma politik, standar profesional
Struktur organisasi
Birokratik yang ditandai dengan otoritas top-down
Desentralisasi organisasi dengan kontrol utama berada pada para agen
Struktur kolaboratif dengan kepemilikan yang berbagi secara internal dan eksternal
Asumsi terhadap motivasi pegawai dan administrator
Gaji dan keuntungan, proteksi
Semangat entrepreneur
Pelayanan publik dengan keinginan melayani masyarakat
Sumber: Denhardt dan Denhardt (2003: 28-29).



Administrasi Publik Berorientasi pada Governance

Perkembangan administrasi publik dari dulu sampai sekarang terus mengalami perubahan seiring dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Perubahan terutama terjadi pada pemyelenggaraan admininstrasi publik oleh pemerintahan, ketika tugas pemerintah makin meningkat dan kekuasasan pemerintah makin luas, maka penyelenggaraan administrasi publikpun ikut berubah dalam birokrasi pemerintah.
Administrasi publik sangat perhatian terhadap terwujudnya tata kepememerintahan yang baik dan amanah. Tata pemerintahan yang baik (good gonernance) diwujudkan dengan lahirnya tatanan kepemerintahan yang demokratis dan diselenggarakan secara baik, bersih, trasnparan dan berwibawa. Tata pemerintahan yang demokratis menekankan bahwa lokus dan focus kekuasaan tidak hanya berada di pemerintahan saja, melainkan beralih terpusat pada tangan rakyat. Penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik terletak pada konstelasi antara tiga komponen rakyat, pemerintah dan pengusaha yang berjalan secara kohesif, selaras, kongruen dan sebanding (Thoha, Miftah, 2005).
Dalam perkembangan keilmuan, administrasi senagai governance  menjadi sangat powerfull dalam menjelaskan masalah kontemporer. Administrasi publik tidak lagi dibatasi oleh birokrasi dan lembaga pemerintah tetapi mencakup semua bentuk organisasi, terutama dalam penyusunan kebijakan publik. Keterlibatan lembaga non pemerintah dalam implementasi kebijakan juga harus diakui. Dan ilmu administrasi sebagai governance menempatkan proses kebijakan sebagai pusat perhatian utama dan digunakan untuk mengkaji bagaimana kekuasaan adminitratif, politik dan ekonomi digunakan untuk merespon masalah dan kepentingan publik.
Sejauh ini pemahaman mengenai governance berbeda-beda, tergantung pemahamamn masing-masing. Terdapat beberapa dimensi penting dari governance; dari dimensi pertama adalah kelembagaan bahwa sistem administrasi melibatkan banyak pelaku. Sehingga konsep jejaring, kemitraan, koprovisi dan koproduksi menjadi bentuk pengaturan yang lazim digunakan dalam birokrasi. Dimensi kedua adalah nilai yang menjadi dasar kekuasaan dengan mewujudkan administrasi publik yang efisien dan efektive. Kemudian dikembangkan democratic governance dengan melibatkan partisipasi, kesetaraan, manajemen berbasis consensus, informalitas, dan kontrak sosial perlu diunakan lagi. Dimensi ketiga adalah dimensi proses, yang menjelaskan bagaimana berbagai unsur dan lembaga memberikan respon terhadap berbagai masalah publik[9]. Berikut adalah pola hubungan interaksi stake holder pemerintah, swasta, dan masyarakat.






 







Daftar Pustaka

Dwiyanto, Agus. 2006. Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: Dari Government ke Governance (Kumpulan Tulisan dalam buku Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik). Gama press. Yogyakarta.
Erwan Agus Purwanto.2005.“Pelayanan Publik Partisipatif ”, Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Frederickson, H, G. 1997. The Spirit of Public Administration. Jossey-Bass Inc. California.
Kencana, Inu Syafiie dkk.1999. Ilmu Administrasi Publik.Rineka Cipta. Jakarta.
Keban,T. Yeremias. 2008.Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep,Reori dan Isu. Gava Media. Yogyakarta
Nicholas Henry.1995.Public Administration and Public Affairs (Sixth Edition), Englewood Cliffs, New Jersey.
Osborne, D.,and Gabler, T. 1992. Reinventing Government. Reading, Mass. Addison-Wessley.
Suharyanto, Hadriyanus. 2005. Administrasi Publik: Entrepreneurship, Kemitraan, Dan Reinventing Government. Cetakan Pertama.Media Wacana. Yogyakarta.
Thoha, Miftah .2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
__________. 2002. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta
Utomo Warsito .2006. Administrasi Publik Baru Indonesia : perubahan padadigma dari administrasi Negara ke administrasi public. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.





[1] Walaupun ada teori yang tetap bertahan tidak termakan waktu tapi pasti ada suatu perubahan atau penyempurnaan. Terlebih ilmu sosial yang sangat dinamis.
[2] Baca Thoha. 2002. Dimensi-dimensi prima administrasi Negara edisi pertama cetakan ketujuh. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Halaman 25-40.
[3] Berkembang Tahun 1885/1887 – akhir 1980-an
Tokoh-tokohnya : Woodrow Wilson, Frank J. Goodnow, White, Gullick&Urwick, Marx.
[4] Teguh Kurniawan dalam http;//teguh-kurniawan.web.ugm.ac.id, diakses 2 Juni 2015
[5] Ibid. hal 18
[7] Keban, Yeremias T., 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori, dan Isu. Gava Media. Yogyakarta.
[8] Erwan Agus Purwanto, “Pelayanan Publik Partisipatif ”, Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik, Editor: Agus Dwiyanto, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, halaman 187.
[9] Dwiyanto, Agus. 2006. Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: Dari Government ke Governance (Kumpulan Tulisan dalam buku Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik). Gama press. Yogyakarta.