Wednesday, January 18, 2017

Sistem Birokrasi Di Indonesia pada Masa Orde Baru, Reformasi dan Kabinet Kerja


            Orde baru diawali dengan runtuhnya pemerintahan Orde Lama yang berpuncak pada tragedi kemanusiaan (Gestok) tahun 1965. Presiden Soekarno menerbitkan Surat Perintah Sebelas Maret yang dikenal dengan SUPERSEMAR pada tahun 66 dengan memberikan wewenang kepada Mayjen Soeharto untuk melakukan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk mengembalikan stabilitas dan keamanan nasional. Langkah Politik yang diambil Soeharto adalah membubarkan PKI dan membersihkan kelembagaan dan pegawai negeri dari kegiatan PKI. Kebijakan politik tersebut menandai awal sterilisasi pemerintahan dari pengaruh partai politik (Dwiyanto,2006). Terlihat jelas visi awal pemerintahan orde baru adalah membebaskan pemerintah dari unsur politik. Sebuah pemikiran yang memberikan harapan bagi bangsa yang belum matang secara pemerintahan. Pandangan baru dari pematangan pemerintahan menjadi berfokus pada pembangunan. Pembersihan sistem birokrasi dari unsur politik tertuang dalam Permendagri nomor 12 tahun 1969, yang meletakan birokrasi dibawah pemerintahan pusat. Sistem tersebut nampaknya menjadi seperti suplemen energy, yang bila digunakan sesuai dosis baik bagi tubuh dan apabila digunakan melebihi dosis akan menjadikan penyakit. Penyakit yang muncul atas sistem sentralistis tersebut adalah birokrasi yang mengakar sampai kebawah digunakan untuk kepentingan politik penguasa yang mengatasnamakan golongan karya yang enggan disebut sebagai partai politik. Soeharto menganggap partai politik saat itu hanya ada dua yaitu PPP dan PDI, birokrat dilarang ikut kegiatan kedua partai tersebut tapi diwadahi dalam Golongan Karya milik pemerintah. Semua kegiatan pemerintah berada dibawah kuasa langsung dari Soeharto baik Lembaga departemen maupun Lembaga non Departemen pemerintah (Ditsospol, Bakorstanas, Kopkamtib, ABRI) sampai Lembaga Kemasyaraktan ( Korpri, HKTI, PKK, Karang Taruna, KNPI, KUD, Kadin). Semua dibawah kendali presiden digunakan untuk memobilisasi massa untuk mengamankan kekuasaan. Dapat disimpulkan dengan bahwa pada pemerintahan Orde Baru sistem birokrasinya cenderung ke Executive Ascendancy. Menurut Thoha,2002, Bentuk executive ascendancy beranggapan bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal dari rakyat atau dari public interest. Birokrasi hanya dijadikan subordinasi dari politik, hanya berlaku sebagai eksekutor dari kebijakan yang dibuat oleh Politik.
            Pada era reformasi, setelah selama 32 tahun birokrasi hanya sebagai pelaksana dari kebijakan politik terdapat semangat besar untuk membedakan ranah politik dan birokrasi. Sayangnya menurut saya hal tersebut tidak dilakukan pada era reformasi sampai saat ini. Pemahaman dan visi tentang tatanan pemerintahan baru nampaknya tidak terlihat pada era reformasi sampai saat ini juga. Sebagaimana disebutkan oleh Toha dalam bukunya Birokrasi Pemerintahan Indonesia di Era Reformasi (2008)
“ Adalah aneh dalam pemahaman ilmu administrasi (ilmiah) seorang Panglima TNI yang karier professional diuji (fit and proper test) oleh anggota dewan (lembaga politik), sementara seorang menteri yang jelas-jelas jabatan politik tidak dimintakan persetujuan dewan……sekarang ini dibidang kelembagaan birokrasi pemerintah ada menteri (kementerian) Negara yang sama tugasnya dengan Lembaga Pemerintah Non  Departemen…. Belum lagi ada kasus suatu departemen dipimpin oleh menteri baru yang tidak memahami Otonomi Daerah (UU No.32.2004) mengusulkan perluasan departemennya dengan menambah, mengubah, menggabung direktorat jendralnya meminta persetujuan Menpan dan disetujiu tanpa analisis mendalam. ”

Seperti yang disebutkan diatas perkembangan birokrasi pada era reformasi semakin tidak jelas arah dan tujuannya. Tidak ada pemisahan yang jelas antara jabatan politik dan jabatan professional. Hal tersebut terjadi sampai di pemerintahan daerah, bupati yang merupakan jabatan publik berwenang mengangkat, mempromosikan, memindahan dan memberhentikan pegawai professional dibawahnya. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Karl Marx (Ritzer,Goodman,2004) Birokrat hanya sebagai pelaku dari kebijakan politik ( Partai Pemenang). Pada saat ini ( pemerintahan Jokowi ) masih sejalan dengan yang dilakukan oleh pemerintahan reformasi. Bisa dikatakan lebih parah lagi, karena Jokowi tidak bisa menempatkan diri sebagai presiden yang merupakan pemimpin (kepala) dari semua warga Negara Indonesia. Akan tetapi lebih pada pejabat partai yang mengusungnya yaitu PDIP. Sangat sesuai dengan pandangan Karl Marx, padahal jika ditelaah kondisi Indonesia saat ini sangat berbeda dari jaman Karl Marx yang masih pada masa revolusi berusaha lepas dar cengkeraman kaum borjuis (kapitalis).
            Dapat disimpulkan menurut pengamatan saya sistem birokrasi yang terjadi pada masa Orde Baru, Reformasi, dan sampai saat ini masih sama seperti yang disebut Carino(1994) dalam Thoha (2008) yaitu birokrasi sebagi subordinasi dari politik atau disebut dengan Executive Ascendancy .


Referensi
Dwiyanto, Agus. et al. 2006 Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Gadjah Mada University  Press. Yogyakarta
Ritzer dan Goodman. 2004. Karl Marx and Varietas of Neo-Marxian Theory, McGraw-Hill, New York
Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Cetakan ke 3 Kencana , Jakarta

Thoha, Miftah. 20034. Birokrasi & Politik di Indonesia, Cetakan ketiga, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta

No comments:

Post a Comment