Orde baru diawali dengan runtuhnya
pemerintahan Orde Lama yang berpuncak pada tragedi kemanusiaan (Gestok) tahun 1965. Presiden Soekarno menerbitkan Surat Perintah Sebelas Maret
yang dikenal dengan SUPERSEMAR pada tahun 66 dengan memberikan wewenang kepada
Mayjen Soeharto untuk melakukan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk
mengembalikan stabilitas dan keamanan nasional. Langkah Politik yang diambil
Soeharto adalah membubarkan PKI dan membersihkan kelembagaan dan pegawai negeri
dari kegiatan PKI. Kebijakan politik tersebut menandai awal sterilisasi
pemerintahan dari pengaruh partai politik (Dwiyanto,2006). Terlihat jelas visi
awal pemerintahan orde baru adalah membebaskan pemerintah dari unsur politik.
Sebuah pemikiran yang memberikan harapan bagi bangsa yang belum matang secara
pemerintahan. Pandangan baru dari pematangan pemerintahan menjadi berfokus pada
pembangunan. Pembersihan sistem birokrasi dari unsur politik tertuang dalam
Permendagri nomor 12 tahun 1969, yang meletakan birokrasi dibawah pemerintahan
pusat. Sistem tersebut nampaknya menjadi seperti suplemen energy, yang bila
digunakan sesuai dosis baik bagi tubuh dan apabila digunakan melebihi dosis
akan menjadikan penyakit. Penyakit yang muncul atas sistem sentralistis
tersebut adalah birokrasi yang mengakar sampai kebawah digunakan untuk
kepentingan politik penguasa yang mengatasnamakan golongan karya yang enggan
disebut sebagai partai politik. Soeharto menganggap partai politik saat itu
hanya ada dua yaitu PPP dan PDI, birokrat dilarang ikut kegiatan kedua partai
tersebut tapi diwadahi dalam Golongan Karya milik pemerintah. Semua kegiatan
pemerintah berada dibawah kuasa langsung dari Soeharto baik Lembaga departemen
maupun Lembaga non Departemen pemerintah (Ditsospol, Bakorstanas, Kopkamtib,
ABRI) sampai Lembaga Kemasyaraktan ( Korpri, HKTI, PKK, Karang Taruna, KNPI, KUD,
Kadin). Semua dibawah kendali presiden digunakan untuk memobilisasi massa untuk
mengamankan kekuasaan. Dapat disimpulkan dengan bahwa pada pemerintahan Orde
Baru sistem birokrasinya cenderung ke Executive
Ascendancy. Menurut Thoha,2002, Bentuk executive
ascendancy beranggapan bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh
kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal dari rakyat atau dari
public interest. Birokrasi hanya dijadikan subordinasi dari politik, hanya
berlaku sebagai eksekutor dari kebijakan yang dibuat oleh Politik.
Pada
era reformasi, setelah selama 32 tahun birokrasi hanya sebagai pelaksana dari
kebijakan politik terdapat semangat besar untuk membedakan ranah politik dan birokrasi.
Sayangnya menurut saya hal tersebut tidak dilakukan pada era reformasi sampai
saat ini. Pemahaman dan visi tentang tatanan pemerintahan baru nampaknya tidak
terlihat pada era reformasi sampai saat ini juga. Sebagaimana disebutkan oleh
Toha dalam bukunya Birokrasi Pemerintahan
Indonesia di Era Reformasi (2008)
“ Adalah aneh dalam pemahaman ilmu
administrasi (ilmiah) seorang Panglima TNI yang karier professional diuji (fit and proper test) oleh anggota dewan
(lembaga politik), sementara seorang menteri yang jelas-jelas jabatan politik
tidak dimintakan persetujuan dewan……sekarang ini dibidang kelembagaan birokrasi
pemerintah ada menteri (kementerian) Negara yang sama tugasnya dengan Lembaga
Pemerintah Non Departemen…. Belum lagi
ada kasus suatu departemen dipimpin oleh menteri baru yang tidak memahami
Otonomi Daerah (UU No.32.2004) mengusulkan perluasan departemennya dengan
menambah, mengubah, menggabung direktorat jendralnya meminta persetujuan Menpan
dan disetujiu tanpa analisis mendalam. ”
Seperti yang disebutkan diatas
perkembangan birokrasi pada era reformasi semakin tidak jelas arah dan
tujuannya. Tidak ada pemisahan yang jelas antara jabatan politik dan jabatan
professional. Hal tersebut terjadi sampai di pemerintahan daerah, bupati yang merupakan
jabatan publik berwenang mengangkat, mempromosikan, memindahan dan
memberhentikan pegawai professional dibawahnya. Sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Karl Marx (Ritzer,Goodman,2004) Birokrat hanya sebagai pelaku dari
kebijakan politik ( Partai Pemenang). Pada saat ini ( pemerintahan Jokowi )
masih sejalan dengan yang dilakukan oleh pemerintahan reformasi. Bisa dikatakan
lebih parah lagi, karena Jokowi tidak bisa menempatkan diri sebagai presiden
yang merupakan pemimpin (kepala) dari semua warga Negara Indonesia. Akan tetapi
lebih pada pejabat partai yang mengusungnya yaitu PDIP. Sangat sesuai dengan
pandangan Karl Marx, padahal jika ditelaah kondisi Indonesia saat ini sangat
berbeda dari jaman Karl Marx yang masih pada masa revolusi berusaha lepas dar
cengkeraman kaum borjuis (kapitalis).
Dapat
disimpulkan menurut pengamatan saya sistem birokrasi yang terjadi pada masa
Orde Baru, Reformasi, dan sampai saat ini masih sama seperti yang disebut
Carino(1994) dalam Thoha (2008) yaitu birokrasi sebagi subordinasi dari politik
atau disebut dengan Executive Ascendancy
.
Referensi
Dwiyanto, Agus. et al. 2006 Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Ritzer dan Goodman. 2004. Karl Marx and Varietas of Neo-Marxian Theory, McGraw-Hill, New York
Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Cetakan ke 3 Kencana , Jakarta
Thoha, Miftah. 20034. Birokrasi & Politik di Indonesia, Cetakan ketiga, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta
No comments:
Post a Comment