Kajian dan praktek ilmu adminitrasi di berbagai negara
terus berkembang seiiring berkembangnya kompleksitas masalah yang di hadapi oleh
administrator publik. Kompleksitas persoalan ini ditanggapi para teoritisi
untuk mengembangkan ilmu administrasi publik.
Begitupun di Indonesia sebenarnya konsep administrasi publik sudah ada pada jaman
kerajaan. Secara disiplin ilmu mulai diajarkan sekitar Tahun 1950-an ketika
administrasi publik yang telah berkembang pesat di luar diinstitusionalisasikan
di Indonesia sebagai wujud komitmen negara maju untuk membantu negara yang
sedang berkembang. Thoha (2008) menyebutkan semua
masyarakat manusia, baik yang sederhana maupun yang kompleks senantiasa
membutuhkan usaha administrasi[1].
Apalagi dalam konteks Negara administrasi sangat dibutuhkan. Pelembagaan
kemampuan administrasi untuk mencapai tujuan bersama atau kolektif adalah
merupakan pilar fundamental dari administrasi negara[2]. Administrasi
public merupakan ilmu pengetahuan yang dinamis dan telah mengalami perubahan
dan pembaharuan dari waktu ke waktu sesuai dengan tantangan yang dihadapi.
Paradigma yang muncul merupakan sudut pandang ahli tentang perananan dan
tantangan Administrasi Publik dalam menjawab masalah yang muncul. Walaupun
selalu muncul perdebatan dalam sebuah paradigm akan tetapi secara umum para
ahli menilai ada empat perkembangan paradigma administrasi public. Dalam
beberapa literature Administrasi Publik dari dalam maupun luar negeri secara
umum terdapat empat paradigma yang berkembang dalam Administrasi public[3]
yaitu : Old Public Administration (OPA),
New Publlic Administration (NPA), New Public Management (NPM), New Public Services (NPS).
Old
Public Administration
Fokus
dari paradigma Old Public Adminitration (OPA)
adalah pada birokrasi pemerintahan. Dalam
bukunya ”The Study of Administration”, Wilson berpendapat bahwa problem
utama yang dihadapi pemerintah eksekutif adalah rendahnya kapasitas
administrasi. Untuk mengembangkan birokrasi pemerintah yang efektif dan
efisien, diperlukan pembaharuan administrasi pemerintahan dengan jalan
meningkatkan profesionalisme manajemen administrasi negara. Untuk itu,
diperlukan ilmu yang diarahkan untuk melakukan reformasi birokrasi dengan
mencetak aparatur publik yang profesional dan non-partisan. Karena itu, tema
dominan dari pemikiran Wilson adalah aparat atau birokrasi yang netral dari
politik. Administrasi negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen
ilmiah dan terpisah dari hiruk pikuk kepentingan politik. Inilah yang dikenal
sebagai konsep dikotomi politik dan administrasi. Administrasi negara merupakan
pelaksanaan hukum publik secara detail dan terperinci, karena itu menjadi
bidangnya birokrat tehnis. Sedang politik menjadi bidangnya politisi. Fokus
dari administrasi adalah pelayanan pada masyarakat dan netral dari kepentingan
politik. Menurut A. S Moneir dalam Nugroho (2014) pelayanan publik adalah suatu
usaha yang dilakukan kelompok atau seseorang atau birokrasi untuk memberikan
bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.[4]
Pelayanan dari penyelenggaraan administrasi pemerintahan dalam jurnal tersebut
adalah aparatur kepolisian bebas dari unsur politik. sesuai dengan administrasi
public dalam paradigma Old Public
Administration. Administrasi merupakan sub bagian dari politik atau
penjalan kebijakan yang dibuat oleh politik.
New Public Administration
Fritz Morstein-Marx (Elements of Public Administration) yang menerangkan bahwa
administrasi dan politik bisa dikotomi. Fritz menunjukkan adanya kesadaran baru
mengenai administrasi yang ‘value free’
itu sebenarnya adalah value yang berat condongnya ke politik (Suharyanto, Hadriyanus, 2005). H.
George. Frederickson menyebutkan dalam administrasi public not value free artinya tidak ada yang bebas nilai, bahkan
administrasi public pun tidak bisa lepas dari nilai politik. Contoh nyata dari
paradigma ini adalah era reformasi di Indonesia dibuatlah Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang bertugas menkaji dan membuat kebijakan
pembangunan jangka pendek dan menengah. Proses politik juga dimasukkan dalam
adminsitrasi public untuk membuat kebijakan. Dalam paradigma ini fokusnya
adalah membuat kebijakan yang efektif dan efisien.
New
Public Management
Fokus
dari paradigma NPM adalah pengadopsian prinsip-prinsip organisasi swasta kepada
organisasi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan efisiensi. Dalam
melakukan upaya perbaikan birokrasi, pada tahun 1992, David Osborne dan Ted
Gaeblet menerbitkan buku Reinventing
Government yang dilanjutkan dengan buku Banishing
Bureaucracy pada tahun 1997. Reinventing
Government merupakan salah satu aplikasi NPM yang pada hakikatnya adalah upaya untuk mentransformasikan jiwa dan
kinerja wiraswasta (entrepreneurship)
ke dalam birokrasi pemerintah. Jiwa entrepreneurship
menekankan pada upaya peningkatan sumber daya baik ekonomi, sosial, budaya,
politik yang dimiliki pemerintah untuk menjadi lebih produktif dan berproduksi
tinggi. Kinerja ini kemudian dikenal dengan mewirausahakan birokrasi pemerintah
yang menurut Osborne ada sepuluh prinsip yang harus dilakukan; pemerintah
bersifat katalis, pemerintah milik masyarakat, pemerintah kompetitif,
pemerintah berorientasi misi, pemerintah berorientasi pada hasil, pemerintah
berorientasi pelanggan, pemerintah berwiraswasta, pemerintah partisipatif,
pemerintah melakukan desentralisasi, pemerintah berorientasi pasar. Dengan melaksanakan
kesepuluh prinsip ini pemerintah dapat meningkatkan kinerjanya. Dalam Asropi
(2008)[5]
menyebutkan Privatisasi di Indonesia mulai dilaksanakan sekitar tahun 1990an,
setelah diterbitkannya Keppres No. 5/1988 yang berisi antara lain ketentuan
tentang restrukturisasi, merger, dan privatisasi BUMN. BUMN yang pertama
diprivatisasi adalah PT Semen Gresik pada Tahun 1991, melalui pelepasan 27 %
saham pemerintah ke pasar modal. Tahap berikutnya, pada tahun 1994 pemerintah
melepas 10 % sahamnya dari PT Indosat. Tujuan dari privatisasi birokrasi dalam
hal ini BUMN adalah meningkatkan efektifitas, efisiensi, dan nilai tambah.[6]
New
Public Services
Munculnya paradigma NPS karena kritik terhadap
NPM yang menempatkan masyarakat sebagai customers.
Dasar teoritis paradigma NPS ini dikembangkan dari teori tentang demokrasi,
dengan lebih menghargai perbedaan, partisipasi dan hak asasi warga negara. Dalam NPS konsep
kepentingan publik merupakan hasil dialog berbagai nilai yang ada di tengah
masyarakat. Nilai-nilai seperti keadilan, transparansi dan akuntabilitas
merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam pelayanan publik. Paradigma
NPS berpandangan bahwa responsivitas (tanggung jawab) birokrasi lebih diarahkan
kepada warga negara (citizen’s) bukan
clients, konstituen (constituent) dan bukan pula pelanggan (customer). Pemerintah dituntut untuk
memandang masyarakatnya sebagai warga negara yang membayar pajak. Dalam suatu
negara yang menganut paham demokrasi, sebenarnya warga negara tidak hanya
dipandang sebagai customer yang perlu
dilayani dengan standar tertentu saja, tetapi lebih dari itu, mereka adalah
pemilik (owner) pemerintah yang
memberikan pelayanan tersebut.[7] Dalam pandangan New
Public Service, administrator publik wajib melibatkan masyarakat (sejak
proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi) dalam pemerintahan dan
tugas-tugas pelayanan umum lainnya.Tujuannya adalah untuk menciptakan
pemerintahan yang lebih baik, sesuai dengan nilai-nilai dasar demokrasi, serta
mencegah potensi terjadinya korupsi birokrasi. Administrasi publik sangat perhatian terhadap terwujudnya tata
kepememerintahan yang baik dan amanah. Tata pemerintahan yang baik (good gonernance) diwujudkan dengan
lahirnya tatanan kepemerintahan yang demokratis dan diselenggarakan secara
baik, bersih, trasnparan dan berwibawa. Tata pemerintahan yang demokratis
menekankan bahwa lokus dan focus kekuasaan tidak hanya berada di pemerintahan
saja, melainkan beralih terpusat pada tangan rakyat. Penyelenggaraan tata
pemerintahan yang baik terletak pada konstelasi antara tiga komponen rakyat,
pemerintah dan pengusaha yang berjalan secara kohesif, selaras, kongruen dan
sebanding (Thoha, Miftah, 2005). Good Governance merupakan paradigma yang
berkembang pada era NPS. Sinergitas antara ketiga stake holder merupakan upaya
untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, transparan dan efisien. Kata kunci
pada paradigma governance adalah
transparansi dan partisipasi. Misalnya dalam jurnal Saragih (2011) yang
berjudul Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah
Rencana Detail Tata Ruang Dan Kawasan[8]
Partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk partisipasi politik
masyarakat yang sangat penting dalam rangka menciptakan good governance.
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (perda)
dapat kita lihat dalam Pasal 96 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 12-2011 yang
menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis dalam pembentukaan peraturan perundang-undangan. Masukan secara lisan
dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud tersebut dapat dilakukan melalui rapat
dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya
dan/atau diskusi. Senada dengan hal tersebut, dalam Pasal 139 Ayat (1) UU No.
32-2004 juga terdapat ketentuan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan
perda.
Birokrasi di Indonesia pasca Reformasi
Pasca
runtuhnya era Orde Baru reformasi birokrasi berhembus begitu kencang. Trauma
masalalu dari pemerintahan Soeharto yang otoriter menjadi dasar yang kuat untuk
segera melakukan reformasi birokrasi. Birokrasi yang terlalu red-type di era Orba menjadikan pelayanan
public kurang maksimal. Pemerintah menganggap dirinya sebagai kekuatan mutlak
yang harus diikuti dan dipatuhi oleh semua warga Negara tanpa mau di control
dan dikritik. Perilaku ini menimpulkan patologi birokrasi salah satunya yaitu
penyakit Parkinson yaitu pembentukan struktur organisasi hanya untuk
kepentingan politik tanpa ada tugas dan tanggungjawab yang jelas. Penyebab
penyakit ini adalah sikap pemimpin yang proliferi yaitu pemimpin merasa
memiliki kewibawaan yang besar saat mempunyai banyak bawahan.[9] Penyakit ini juga sebagai gejala awal
timbulnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Masyarakat saat itu hanya dijadikan
sebagai objek pemerintahan. Masyarakat mulai bosan dengan sikap pemerintahan
yang seperti itu yang sudah berjalan selama 32 tahun. Akhirnya pada tahun 1998
pemerintahan Soeharto diruntuhkan oleh aksi demonstrasi besar-besaran yang
menuntut mundurnya presiden yang dianggap dalang korupsi. Seperti dilansir oleh
World Bank (2009)
…….
Indonesia was hit hard during the Asian
financial crisis in 1997, GDP plummeted by 13%, the IDR lost 80% of its value
almost wiping out the middle class. The country was mired in a deep recession.
The economic crisis exacerbated separatist tensions and precipitated mass
protests demanding a government free from corruption, collusion and nepotism
(korupsi, kolusi, nepotisme or KKN), which was seen as one of the main causes
of the crisis.[10]
Runtuhnya pemerintahan yang ditandai dengan
mundurnya presiden Soeharto menjadi awal dari reformasi birokrasi pemerintahan
Indonesia. Mulai dari sitem pemerintahan sampai sistem politik juga mengalami
perombakan. Lembaga-lembaga pemerintah mulai melakukan reformasi pada
birokrasinya masing-masing dibawah control Menpan-RB. Selain desakan dari
internal Negara sendiri, reformasi birokrasi juga dilakukan guna menjawab
tantangan global terhadap birokrasi di Indonesia. Tuntutan Global yang
mengharuskan Indonesia melakukan reformasi birokrasi sesuai dengan konsep Good Governance dari UNDP [11].
Karakteristik pemerintahan yang baik menurut UNDP (Ronndinelli, 2007:9) adalah
pemerintahan yang mampu menjalankan 9 prinsip : Participation, Rule of Law, Transparency, Responsiveness, Consensus
Orientation, Equity, Effectiveness and efficiency, Accountability, Stategic
Vision. Pemerintah Indonesia seperti mendapat angina segar, tanpa
dipertimbangkan kesiapannya langsung menerapkan semua prinsip dari UNDP
tersebut. Akibatnya bukannya pemerintahan tambah baik akan tetapi malah lebih
parah akibat dari demokrasi utopis yang berlebihan. Bisa kita bandingkan dengan
reformasi birokrasi yang dilakukan di India. India tidak secara mentah
menerapkan prinsip good governance dari UNDP yang merupakan agenda setting
untuk mengusai suatu Negara, India berfokus pada problem solving yang dihadapi.
Seperti yang dibahas pada jurnal Aurora, Punit[12]
yang menjelaskan bahwa :
These don’t just
exclude a large part of bureaucracy from the reform efforts, but also fail to
address the factors external to the administration that hinge upon its
performance. To be specific, the article presents evidence of the linkage
between the deficiencies in the political, electoral and judicial system and
the decline in performance of civil service. It reasons that it is meaningless
to talk of administrative reforms without undertaking simultaneous reforms in
political and electoral system.
Sebelum
menerapkan proses demokarasi pemerintah India lebih memperhatikan tentang
pelayanan public yang optimal. Finally,
it suggests a more comprehensive reform agenda to improve the performance of
civil service, and above all emphasizes the need for adopting the systems
approach to problem-solving.[13]
Nampaknya
pengaruh politik yang terlalu besar terhadap administasi public di Indonesia
menyebabkan reformasi birokrasi sulit berjalan. Kepentingan politik ini tidak
hanya dari partai politik yang berkuasa diparlemen akan tetaapi juga
kepentingan politis dari lembaga-lembaga donor internasional yang ingin
menguasai Indonesia. Salah satunya adalah agenda setting yang dilakukan IMF
kepada pemerintahan Indonesia. Dengan penandatanganan perjanjian (letter of intent) dengan IMF Indonesia
harus mematuhi kepentingan dari IMF dengan dalih pembangunan yang dikemas dalam
reformasi birokrasi. Keadaan birokrasi Indonesia semakin terpuruk, dengan dana
yang besar actor kapitalis global mampu menyetir pemerintahan dan kebijakan
pemerintah Indonesia. Inilah penyebab Indonesia kurang berhasil dalam
melaksanakan pelayanan public di taraf local maupun global. Kebijakan
desentralisasi dan menjunjung tinggi demokasi –dalam hal ini partisipasi
masyarakat- hanya narasi formal belaka.
Semua berkembang untuk kepentingan investor asing. Dalam jurnal Analisis
Sosial, Vol.7, No.2 Juni 2002 yang berjudul demokrasi dan kemiskinan[14]
menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan mendapatkan temuan bahwa demokrasi
hanya sebuah topeng yang digunakan untuk melindungi dan memuluskan kepentingan
privat.
Solusi
yang penulis tawarkan adalah sebelum memulai reformasi birokrasi dalam konteks
demokrasi dan good governance, alangkah lebih baik diperbaiki dulu pondasi
masyarakat agar tercipta civil society.
Pondasi itu menurut Thoha (1995) adalah pertumbuhan pendidikan, institusi
demokrasi, dan menyebarnya komunikasi. [15]
dengan dipenuhinya dan ditumbuhkannya hal tersebut makan akan secara otomatis
meningkatkan partisipasi masyarakat. Demokrasi dan partisipasi masyarakat akan
mencapai substansi tidak lagi hanya menjadi wacana utopis belaka. Sebelum
pendidikan masyarakat diperbaiki sampai kapanpun Indonesia tidak akan mampu
bersaing didunia global dalam segi apapun.
[1]
Baca Thoha, Miftah. 2008. Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta : kencana.
Halaman 11.
[2]
Ibid. hlm 12.
[3]
Baca Thoha. 2002. Dimensi-dimensi prima administrasi Negara edisi pertama
cetakan ketujuh. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Halaman 25-40.
[4]
Nugroho, Alih. 2014. Analisis Kualitas
Pelayanan Aparatur Kepolisian Berdasarkan Model Importance Performance Analysis
(Ipa) Dan Model Kano . Jurnal Administrasi Publik (JAP)Universitas Brawijaya.
Malang, Vol. 2, No.8, Hal.2
[5]
Asropi. Menilik kinerja privatisasi : perbandingan Malaysia dan Indonesia.
Jurnal Administrator Borneo; Volume 4; Nomor 2; 2008; halaman 13.
[6]
Ibid. hlm.14
[7]
Erwan Agus Purwanto, “Pelayanan Publik Partisipatif ”, Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik, Editor: Agus
Dwiyanto, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta ,
2005, halaman 187.
[8]
Saragih, M Tomy. 2011. Konsep
Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata
Ruang Dan Kawasan. Jurnal Sasi Vol. 17 No. 3 Bulan Juli-September
2011
[9]
Untuk lebih detail baca Thoha, Miftah. 2004. Birokrasi dan politik di
Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
[10] Global
Expert Team, P. S. P. 2011. Transforming the Public Sector in Indonesia
Delivering Total Reformasi. World Bank Journal
[11]
Penilaian UNDP terhadap keberhasilan suatu birokrasi sangat berpengaruh
terhadap minat investor internaisional untuk menenanam saham di suatu Negara.
[12]
Aurora, Punit. International Public Management Review · electronic Journal at
http://www.ipmr.net
Volume 7 · Issue 2 · 2006 · © International Public
Management Network. Page 82.
[13]
Ibid.
[15]
Thoha, Miftah. 1995. Birokrasi Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta : PD.
Batang Gadis. Hal.42.
No comments:
Post a Comment