Wednesday, January 18, 2017

Perkembangan Ilmu Administrasi Publik di Negara Berkembang


Kajian dan praktek ilmu adminitrasi di berbagai negara terus berkembang seiiring berkembangnya kompleksitas masalah yang di hadapi oleh administrator publik. Kompleksitas persoalan ini ditanggapi para teoritisi untuk mengembangkan ilmu administrasi publik. Begitupun di Indonesia sebenarnya konsep  administrasi publik sudah ada pada jaman kerajaan. Secara disiplin ilmu mulai diajarkan sekitar Tahun 1950-an ketika administrasi publik yang telah berkembang pesat di luar diinstitusionalisasikan di Indonesia sebagai wujud komitmen negara maju untuk membantu negara yang sedang berkembang. Thoha (2008) menyebutkan semua masyarakat manusia, baik yang sederhana maupun yang kompleks senantiasa membutuhkan usaha administrasi[1]. Apalagi dalam konteks Negara administrasi sangat dibutuhkan. Pelembagaan kemampuan administrasi untuk mencapai tujuan bersama atau kolektif adalah merupakan pilar fundamental dari administrasi negara[2]. Administrasi public merupakan ilmu pengetahuan yang dinamis dan telah mengalami perubahan dan pembaharuan dari waktu ke waktu sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Paradigma yang muncul merupakan sudut pandang ahli tentang perananan dan tantangan Administrasi Publik dalam menjawab masalah yang muncul. Walaupun selalu muncul perdebatan dalam sebuah paradigm akan tetapi secara umum para ahli menilai ada empat perkembangan paradigma administrasi public. Dalam beberapa literature Administrasi Publik dari dalam maupun luar negeri secara umum terdapat empat paradigma yang berkembang dalam Administrasi public[3] yaitu : Old Public Administration (OPA), New Publlic Administration (NPA), New Public Management (NPM), New Public Services (NPS).
Old Public Administration
            Fokus dari paradigma Old Public Adminitration (OPA) adalah pada birokrasi pemerintahan. Dalam bukunya ”The Study of Administration”, Wilson berpendapat bahwa problem utama yang dihadapi pemerintah eksekutif adalah rendahnya kapasitas administrasi. Untuk mengembangkan birokrasi pemerintah yang efektif dan efisien, diperlukan pembaharuan administrasi pemerintahan dengan jalan meningkatkan profesionalisme manajemen administrasi negara. Untuk itu, diperlukan ilmu yang diarahkan untuk melakukan reformasi birokrasi dengan mencetak aparatur publik yang profesional dan non-partisan. Karena itu, tema dominan dari pemikiran Wilson adalah aparat atau birokrasi yang netral dari politik. Administrasi negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen ilmiah dan terpisah dari hiruk pikuk kepentingan politik. Inilah yang dikenal sebagai konsep dikotomi politik dan administrasi. Administrasi negara merupakan pelaksanaan hukum publik secara detail dan terperinci, karena itu menjadi bidangnya birokrat tehnis. Sedang politik menjadi bidangnya politisi. Fokus dari administrasi adalah pelayanan pada masyarakat dan netral dari kepentingan politik. Menurut A. S Moneir dalam Nugroho (2014) pelayanan publik adalah suatu usaha yang dilakukan kelompok atau seseorang atau birokrasi untuk memberikan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.[4] Pelayanan dari penyelenggaraan administrasi pemerintahan dalam jurnal tersebut adalah aparatur kepolisian bebas dari unsur politik. sesuai dengan administrasi public dalam paradigma Old Public Administration. Administrasi merupakan sub bagian dari politik atau penjalan kebijakan yang dibuat oleh politik.

New Public Administration
Fritz Morstein-Marx (Elements of Public Administration) yang menerangkan bahwa administrasi dan politik bisa dikotomi. Fritz menunjukkan adanya kesadaran baru mengenai administrasi yang ‘value free’ itu sebenarnya adalah value yang berat condongnya ke politik (Suharyanto, Hadriyanus, 2005). H. George. Frederickson menyebutkan dalam administrasi public not value free artinya tidak ada yang bebas nilai, bahkan administrasi public pun tidak bisa lepas dari nilai politik. Contoh nyata dari paradigma ini adalah era reformasi di Indonesia dibuatlah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang bertugas menkaji dan membuat kebijakan pembangunan jangka pendek dan menengah. Proses politik juga dimasukkan dalam adminsitrasi public untuk membuat kebijakan. Dalam paradigma ini fokusnya adalah membuat kebijakan yang efektif dan efisien.



New Public Management
Fokus dari paradigma NPM adalah pengadopsian prinsip-prinsip organisasi swasta kepada organisasi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan efisiensi. Dalam melakukan upaya perbaikan birokrasi, pada tahun 1992, David Osborne dan Ted Gaeblet menerbitkan buku Reinventing Government yang dilanjutkan dengan buku Banishing Bureaucracy pada tahun 1997. Reinventing Government merupakan salah satu aplikasi NPM yang pada hakikatnya adalah upaya untuk mentransformasikan jiwa dan kinerja wiraswasta (entrepreneurship) ke dalam birokrasi pemerintah. Jiwa entrepreneurship menekankan pada upaya peningkatan sumber daya baik ekonomi, sosial, budaya, politik yang dimiliki pemerintah untuk menjadi lebih produktif dan berproduksi tinggi. Kinerja ini kemudian dikenal dengan mewirausahakan birokrasi pemerintah yang menurut Osborne ada sepuluh prinsip yang harus dilakukan; pemerintah bersifat katalis, pemerintah milik masyarakat, pemerintah kompetitif, pemerintah berorientasi misi, pemerintah berorientasi pada hasil, pemerintah berorientasi pelanggan, pemerintah berwiraswasta, pemerintah partisipatif, pemerintah melakukan desentralisasi, pemerintah berorientasi pasar. Dengan melaksanakan kesepuluh prinsip ini pemerintah dapat meningkatkan kinerjanya. Dalam Asropi (2008)[5] menyebutkan Privatisasi di Indonesia mulai dilaksanakan sekitar tahun 1990an, setelah diterbitkannya Keppres No. 5/1988 yang berisi antara lain ketentuan tentang restrukturisasi, merger, dan privatisasi BUMN. BUMN yang pertama diprivatisasi adalah PT Semen Gresik pada Tahun 1991, melalui pelepasan 27 % saham pemerintah ke pasar modal. Tahap berikutnya, pada tahun 1994 pemerintah melepas 10 % sahamnya dari PT Indosat. Tujuan dari privatisasi birokrasi dalam hal ini BUMN adalah meningkatkan efektifitas, efisiensi, dan nilai tambah.[6]
New Public Services
 Munculnya paradigma NPS karena kritik terhadap NPM yang menempatkan masyarakat sebagai customers. Dasar teoritis paradigma NPS ini dikembangkan dari teori tentang demokrasi, dengan lebih menghargai perbedaan, partisipasi dan hak asasi warga negara. Dalam NPS konsep kepentingan publik merupakan hasil dialog berbagai nilai yang ada di tengah masyarakat. Nilai-nilai seperti keadilan, transparansi dan akuntabilitas merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam pelayanan publik. Paradigma NPS berpandangan bahwa responsivitas (tanggung jawab) birokrasi lebih diarahkan kepada warga negara (citizen’s) bukan clients, konstituen (constituent) dan bukan pula pelanggan (customer). Pemerintah dituntut untuk memandang masyarakatnya sebagai warga negara yang membayar pajak. Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi, sebenarnya warga negara tidak hanya dipandang sebagai customer yang perlu dilayani dengan standar tertentu saja, tetapi lebih dari itu, mereka adalah pemilik (owner) pemerintah yang memberikan pelayanan tersebut.[7] Dalam pandangan New Public Service, administrator publik wajib melibatkan masyarakat (sejak proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi) dalam pemerintahan dan tugas-tugas pelayanan umum lainnya.Tujuannya adalah untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik, sesuai dengan nilai-nilai dasar demokrasi, serta mencegah potensi terjadinya korupsi birokrasi. Administrasi publik sangat perhatian terhadap terwujudnya tata kepememerintahan yang baik dan amanah. Tata pemerintahan yang baik (good gonernance) diwujudkan dengan lahirnya tatanan kepemerintahan yang demokratis dan diselenggarakan secara baik, bersih, trasnparan dan berwibawa. Tata pemerintahan yang demokratis menekankan bahwa lokus dan focus kekuasaan tidak hanya berada di pemerintahan saja, melainkan beralih terpusat pada tangan rakyat. Penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik terletak pada konstelasi antara tiga komponen rakyat, pemerintah dan pengusaha yang berjalan secara kohesif, selaras, kongruen dan sebanding (Thoha, Miftah, 2005). Good Governance merupakan paradigma yang berkembang pada era NPS. Sinergitas antara ketiga stake holder merupakan upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, transparan dan efisien. Kata kunci pada paradigma governance adalah transparansi dan partisipasi. Misalnya dalam jurnal Saragih (2011) yang berjudul Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang Dan Kawasan[8] Partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk partisipasi politik masyarakat yang sangat penting dalam rangka menciptakan good governance. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (perda) dapat kita lihat dalam Pasal 96 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 12-2011 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukaan peraturan perundang-undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud tersebut dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya dan/atau diskusi. Senada dengan hal tersebut, dalam Pasal 139 Ayat (1) UU No. 32-2004 juga terdapat ketentuan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan perda.
Birokrasi di Indonesia pasca Reformasi
            Pasca runtuhnya era Orde Baru reformasi birokrasi berhembus begitu kencang. Trauma masalalu dari pemerintahan Soeharto yang otoriter menjadi dasar yang kuat untuk segera melakukan reformasi birokrasi. Birokrasi yang terlalu red-type di era Orba menjadikan pelayanan public kurang maksimal. Pemerintah menganggap dirinya sebagai kekuatan mutlak yang harus diikuti dan dipatuhi oleh semua warga Negara tanpa mau di control dan dikritik. Perilaku ini menimpulkan patologi birokrasi salah satunya yaitu penyakit Parkinson yaitu pembentukan struktur organisasi hanya untuk kepentingan politik tanpa ada tugas dan tanggungjawab yang jelas. Penyebab penyakit ini adalah sikap pemimpin yang proliferi yaitu pemimpin merasa memiliki kewibawaan yang besar saat mempunyai banyak bawahan.[9]  Penyakit ini juga sebagai gejala awal timbulnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Masyarakat saat itu hanya dijadikan sebagai objek pemerintahan. Masyarakat mulai bosan dengan sikap pemerintahan yang seperti itu yang sudah berjalan selama 32 tahun. Akhirnya pada tahun 1998 pemerintahan Soeharto diruntuhkan oleh aksi demonstrasi besar-besaran yang menuntut mundurnya presiden yang dianggap dalang korupsi. Seperti dilansir oleh World Bank (2009)
……. Indonesia was hit hard during the Asian financial crisis in 1997, GDP plummeted by 13%, the IDR lost 80% of its value almost wiping out the middle class. The country was mired in a deep recession. The economic crisis exacerbated separatist tensions and precipitated mass protests demanding a government free from corruption, collusion and nepotism (korupsi, kolusi, nepotisme or KKN), which was seen as one of the main causes of the crisis.[10]
Runtuhnya pemerintahan yang ditandai dengan mundurnya presiden Soeharto menjadi awal dari reformasi birokrasi pemerintahan Indonesia. Mulai dari sitem pemerintahan sampai sistem politik juga mengalami perombakan. Lembaga-lembaga pemerintah mulai melakukan reformasi pada birokrasinya masing-masing dibawah control Menpan-RB. Selain desakan dari internal Negara sendiri, reformasi birokrasi juga dilakukan guna menjawab tantangan global terhadap birokrasi di Indonesia. Tuntutan Global yang mengharuskan Indonesia melakukan reformasi birokrasi sesuai dengan konsep Good Governance dari UNDP [11]. Karakteristik pemerintahan yang baik menurut UNDP (Ronndinelli, 2007:9) adalah pemerintahan yang mampu menjalankan 9 prinsip : Participation, Rule of Law, Transparency, Responsiveness, Consensus Orientation, Equity, Effectiveness and efficiency, Accountability, Stategic Vision. Pemerintah Indonesia seperti mendapat angina segar, tanpa dipertimbangkan kesiapannya langsung menerapkan semua prinsip dari UNDP tersebut. Akibatnya bukannya pemerintahan tambah baik akan tetapi malah lebih parah akibat dari demokrasi utopis yang berlebihan. Bisa kita bandingkan dengan reformasi birokrasi yang dilakukan di India. India tidak secara mentah menerapkan prinsip good governance dari UNDP yang merupakan agenda setting untuk mengusai suatu Negara, India berfokus pada problem solving yang dihadapi. Seperti yang dibahas pada jurnal Aurora, Punit[12] yang menjelaskan bahwa :
            These don’t just exclude a large part of bureaucracy from the reform efforts, but also fail to address the factors external to the administration that hinge upon its performance. To be specific, the article presents evidence of the linkage between the deficiencies in the political, electoral and judicial system and the decline in performance of civil service. It reasons that it is meaningless to talk of administrative reforms without undertaking simultaneous reforms in political and electoral system.

Sebelum menerapkan proses demokarasi pemerintah India lebih memperhatikan tentang pelayanan public yang optimal. Finally, it suggests a more comprehensive reform agenda to improve the performance of civil service, and above all emphasizes the need for adopting the systems approach to problem-solving.[13]
Nampaknya pengaruh politik yang terlalu besar terhadap administasi public di Indonesia menyebabkan reformasi birokrasi sulit berjalan. Kepentingan politik ini tidak hanya dari partai politik yang berkuasa diparlemen akan tetaapi juga kepentingan politis dari lembaga-lembaga donor internasional yang ingin menguasai Indonesia. Salah satunya adalah agenda setting yang dilakukan IMF kepada pemerintahan Indonesia. Dengan penandatanganan perjanjian (letter of intent) dengan IMF Indonesia harus mematuhi kepentingan dari IMF dengan dalih pembangunan yang dikemas dalam reformasi birokrasi. Keadaan birokrasi Indonesia semakin terpuruk, dengan dana yang besar actor kapitalis global mampu menyetir pemerintahan dan kebijakan pemerintah Indonesia. Inilah penyebab Indonesia kurang berhasil dalam melaksanakan pelayanan public di taraf local maupun global. Kebijakan desentralisasi dan menjunjung tinggi demokasi –dalam hal ini partisipasi masyarakat- hanya  narasi formal belaka. Semua berkembang untuk kepentingan investor asing. Dalam jurnal Analisis Sosial, Vol.7, No.2 Juni 2002 yang berjudul demokrasi dan kemiskinan[14] menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan mendapatkan temuan bahwa demokrasi hanya sebuah topeng yang digunakan untuk melindungi dan memuluskan kepentingan privat.
Solusi yang penulis tawarkan adalah sebelum memulai reformasi birokrasi dalam konteks demokrasi dan good governance, alangkah lebih baik diperbaiki dulu pondasi masyarakat agar tercipta civil society. Pondasi itu menurut Thoha (1995) adalah pertumbuhan pendidikan, institusi demokrasi, dan menyebarnya komunikasi. [15] dengan dipenuhinya dan ditumbuhkannya hal tersebut makan akan secara otomatis meningkatkan partisipasi masyarakat. Demokrasi dan partisipasi masyarakat akan mencapai substansi tidak lagi hanya menjadi wacana utopis belaka. Sebelum pendidikan masyarakat diperbaiki sampai kapanpun Indonesia tidak akan mampu bersaing didunia global dalam segi apapun.



[1] Baca Thoha, Miftah. 2008. Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta : kencana. Halaman 11.
[2] Ibid. hlm 12.
[3] Baca Thoha. 2002. Dimensi-dimensi prima administrasi Negara edisi pertama cetakan ketujuh. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Halaman 25-40.
[4] Nugroho, Alih. 2014. Analisis Kualitas Pelayanan Aparatur Kepolisian Berdasarkan Model Importance Performance Analysis (Ipa) Dan Model Kano . Jurnal Administrasi Publik (JAP)Universitas Brawijaya. Malang, Vol. 2, No.8, Hal.2
[5] Asropi. Menilik kinerja privatisasi : perbandingan Malaysia dan Indonesia. Jurnal Administrator Borneo; Volume 4; Nomor 2; 2008; halaman 13.
[6] Ibid. hlm.14
[7] Erwan Agus Purwanto, “Pelayanan Publik Partisipatif ”, Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik, Editor: Agus Dwiyanto, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, halaman 187.
[8] Saragih, M Tomy. 2011. Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang Dan Kawasan. Jurnal Sasi Vol. 17 No. 3 Bulan Juli-September 2011
[9] Untuk lebih detail baca Thoha, Miftah. 2004. Birokrasi dan politik di Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
[10] Global Expert Team, P. S. P. 2011. Transforming the Public Sector in Indonesia Delivering Total Reformasi. World Bank Journal
[11] Penilaian UNDP terhadap keberhasilan suatu birokrasi sangat berpengaruh terhadap minat investor internaisional untuk menenanam saham di suatu Negara.
[12] Aurora, Punit. International Public Management Review · electronic Journal at http://www.ipmr.net
Volume 7 · Issue 2 · 2006 · © International Public Management Network. Page 82.
[13] Ibid.
[14] Arifin. Jurnal Analisis Sosial, Vol.7, No.2 Juni 2002. Bandung : Akatiga. Hal.12
[15] Thoha, Miftah. 1995. Birokrasi Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta : PD. Batang Gadis. Hal.42.

No comments:

Post a Comment