ANALISIS KEBIJAKAN MENANGGULANGI KEMACETAN
DI JAKARTA MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)
BAB I
PENDAHULUAN
Transportasi menurut
ketentuan Undang-Undang No 14 Tahun 1992 adalah simpul dan atau ruang kegiatan
yang dihubungkan oleh ruang lalu lintas sehingga dapat membentuk suatu kesatuan
sistem untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Alat
transportasi sesuai kaidah ekonomi dibedakan menjadi dua yaitu transportasi
pribadi ( Private Goods) dan
Transportasi umum ( Impure Public Goods). Menurut Jonathan Gruber dalam bukunya Public finance and Public Policy (2007)
sebagai berikut :
“ Goods that are pure public goods are characterized by two traits.
Firs, they are non-rival in consumption: that is, my consuming or making
use of the good dos not in any way affect your opportunity to consume the good.
Second, They are non-excludable : even if I want to deny you the
opportunity to consume or acces the public good, there is no way I can do so…..
most of the goods we think of as public goods are really impure public goods,
wich satify these two conditions to some extent, but not fully”.
Pernyataan tersebut dapat
diartikan bahwa Impure public goods adalah
barang semi publik, barang atau jasa yang ada persaingan untuk mendapatkan
tetapi sedikit, dan tidak ada kepemilikan sepihak dari barang tersebut akan
tetapi tidak penuh. Untuk mendapatkan barang harus dengan sedikit persaingan
dan ada sedikit “kepemilikan” dalam barang tersebut. Dari pernyataan Gruber
dapat digunakan untuk mengidentifikasi bahwa transportasi umum dapat
dikategorikan sebagai Impure public
goods. Seseorang tidak ingin bersaing secara penuh dan tidak ada
kepemilikan sepihak dari perorangan untuk transportasi umum. Yang menyebabkan masalah pada public transportations di Indonesia
adalah cara pandang ekonomi masih menggunakan teori ekonomi neoklasik yang
tidak memperhatikan prinsip ekonomi kerakyatan. Dalam bukunya Alfred Marshall, Principles of Economic (1890)
menyebutkan prinsip ekonomi hanya bertujuan untuk mencapai efisiensi dan
menemukan keseimbangan yang optimal. Kajian tentang ilmu ekonomi sebagai sudut
pandang pembuat kebijakan hanya berdasar pada prinsip efisiensi riil. Kelemahan
teori ekonomi Neo-Klasik adalah tidak memperhatikan aspek social sebagai sebuah
ekternalitas yang harus dimasukkan dalam mengkaji masalah ekonomi public.
Padahal teori Neoklasik sudah di tentang dan berusaha diruntuhkan oleh ilmuan
ekonomi modern. Diawali oleh Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest, and mooney (1936)
menyatakan bahwa pernanan ekonomi dan filosofis politik tidak dapat dipisahkan.
Politik dalam hal ini dapat disederhanakan menjadi social atau kerakyatan.
Perjuangan Keynes dilanjutkan oleh Gunnar Myrdal dengan bukunya The Political Element in Development of
Economic Theory (1975) bersama Galbraith dengan bukunya Economic and the Public Purpose (1971)
menyatakan fungsi ilmu ekonomi adalah menerangkan satu proses ekonomi dimana
perorangan memperoleh pelayanan.
Analisis dapat dimulai dari populasi kendaraan
bermotor di Jakarta yang merunut data jumlah populasinya tidak terkontrol. Dari
data salah satu portal berita nasional Antara News (6/01/2015) jumlah kendaraan
bermotor hingga akhir 2014 di Jakarta sebanyak 17.523.967 unit dengan rincian
13.084.372 unit sepeda motor, 3.226.009 unit mobil pribadi, 673.661 unit mobil
barang, 362.066 unit bus, dan 137.859 kendaraan khusus. Berdasarkan data
Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya jumlah kendaraan bermotor di Jakarta
bertambah sebanyak 5.500 hingga 6.000 unit kendaraan perhari (data berdasarkan
jumlah STNK yang dikeluarkan samsat). Dapat disimpulkan dengan jumlah 13jt an
unit dan bertambah 6.000 an unit perhari dalam setahun volume kendaraan
bermotor di Jakrata naik 12% pertahun, sungguh sebuah jumlah yang fantastis
untuk kota metropolitas yang kepadatan penduduknya sangat tinggi. Masih dari
sumber data yang sama pertummbuhan infrastruktur berupa jalan di Jakarta hanya 0,01 % pertahun. Pertumbuhan jalan yang tidak sebanding dengan pertumbuhan
jumlah kendaraan. Sesuai dengan teori yang digunakan diawal, pemerintah tidak
ikut campur dalam mengontrol populasi jumlah kendaraan yang ada di Jakarta,
sepenuhnya dilepaskan pada mekanisme pasar. Demand
yang tinggi dari penduduk Jakarta akan kendaraan bermotor pribadi
dibebaskan oleh pemerintah dengan Suplay dari
pihak privat. Salah satu kebijakan yang mendasari analisa tersebut adalah
kebijakan pemerintah tentang mobil murah dengan dalih Low Cost Green Car (LCGC). Dengan diberlakukan kebijakan tersebut demand akan kendaran bermotor semakin
meningkat dan meningkatkan jumlah pertumbuhan kendaraan bermotor secara
signifikan. Di lain sisi peningkatan pelayanan di bidang infrastruktur dan
transportasi umum tidak dibenahi. Sehingga masyarakat lebih nyaman bepergian
menggunakan kendaraan pribadi masing-masing dan kemacetanpun tidak
terhindarkan. Pelayanan Bus Transjakarta yang masih kurang dapat dilihat hanya
dapat menjangkau daerah-daerah utama dan masih belum tertibnya pengguna jalan
yang masih menggunakan jalus Bus Transjakarta menyebabkan Bus tidak bisa On Time. Disediakannya Communter line memberikan sedikit angin
segar untuk mengurangi pengguaan kendaraan pribadi. Masalahnya Commuter Line sama seperti Bus
Transjakarta yang hanya bisa menjangkau daerah-daerah utama. Tidak disediakan
transportasi umum/khusus untuk digunakan dari post-pos pemberhentian Busway dan Commuterline menyisakan masalah tersendiri bagi penggunanya. Bus
Kota dan Kopaja semakin hari semakin kehilangan kepercayaan dari pengguna.
Fasilitas yang tidak nyaman dan keamanan yang tidak terjamin merupakan alasan
bagi masyarakat untuk enggan menggunakannnya.
BAB II
MASALAH KEBIJAKAN
Sebelum memecahkan sebuah masalah, maka langkah
yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah merumuskan masalah. Menurut Dunn
perumusan masalah dapat dipandang sebagai proses empat fase yang saling
tergantung, yaitu pencarian masalah (problem
search), pendefinisian masalah (problem
definition), spesifikasi masalah (problem
specification) dan pengenalan masalah (problem
sensing).[1]
1. Situasi
Masalah
Dari data yang telah penulis sampaikan di
muka bahwa jumlah kendaraan bermotor hingga akhir 2014 di Jakarta sebanyak
17.523.967 unit dengan rincian 13.084.372 unit sepeda motor, 3.226.009 unit
mobil pribadi, 673.661 unit mobil barang, 362.066 unit bus, dan 137.859
kendaraan khusus. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya jumlah
kendaraan bermotor di Jakarta bertambah sebanyak 5.500 hingga 6.000 unit
kendaraan perhari (data berdasarkan jumlah STNK yang dikeluarkan samsat). Dapat
disimpulkan dengan jumlah 13jt an unit dan bertambah 6.000 an unit perhari
dalam setahun volume kendaraan bermotor di Jakrata naik 12% pertahun, sungguh
sebuah jumlah yang fantastis untuk kota metropolitan yang kepadatan penduduknya
sangat tinggi. Masih dari sumber data yang sama pertummbuhan infrastruktur
berupa jalan di Jakarta hanya 0,01 %
pertahun. Pertumbuhan jalan yang tidak
sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Itulah yang menjadi permasalahan
yang menyebabkan kemacetan yang parah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Masalah
tersebut harus segera ditangani dengan kebijakan yang tepat sasaran agar
kemacetan di Jakarta bisa diatasi secara efektif dan efisien.
2. Meta
Masalah
Berdasarkan situasi masalah di atas ditemukakan
beberapa permasalahan pokok yakni:
a. Sistem transportasi umum belum baik : Busway,
Commuterline, Kopaja, Bemo, Taksi,
dll .
b. Populasi transportasi privat terlalu
banyak.
c. Masalah
penataan wilayah perekonomian : Jakartasentris
3.
Masalah
Substansif
Berdasarkan situasi masalah dan meta masalah, maka
ditemukan masalah substantifnya adalah tidak seimbangnya pertumbuhan kendaraan
bermotor dengan pertumbuhan infrastruktur menyebabkan kemacetan yang parah.
4.
Masalah
Formal
Berdasarkan hasil penelusuran mulai dari situasi
masalah, meta masalah, dan masalah substantif, maka ditemukan masalah formalnya
yakni pada bagaimana formulasi kebijakan pemerintah menekan jumlah populasi
kendaraan bermotor dan membenahi sistem transportasi umum untuk mengatasi
masalah kemacetan lalulintas.
5.
Tujuan
Kebijakan
Bertolak dari pemahaman tentang situasi masalah, meta masalah,
masalah substantif dan masalah formal, maka dapat dirumuskan tujuan
kebijakannya adalah sebagai berikut:
1. Membuat formulasi yang dapat menganalisa akar permasalahan
sehingga Mengatasi kemacetan
2. Menekan penggunaan kendaraan pribadi
3. Memperbaiki sistem transportasi umum
BAB III
ALTERNATIF
KEBIJAKAN
Langkah
berikutnya yang harus dilakukan oleh seorang analisis kebijakan setelah
merumuskan masalah kebijakan ialah menetukan alternatif kebijakan. Melakukan
sebuah penentuan alternatif kebijakan bukan merupakan hal mudah, kerena pembuat
kebijakan dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas yang berhubungan dengan
masalah yang dihadapi (Subasono,2005). Sehingga output alternatif kebijakan sangat tergantung seorang analisis
kebijakan yang melakukan analisis terhadap suatu kebijakan. Dalam melakukan
analisis, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, yakni:
1.
Mengidentifikasi alternatif kebijakan yang telah
ditetapkan.
2.
Menetapkan kriteria yang akan digunakan untuk
mengevaluasi alternatif kebijakan tersebut.
3.
Melakukan evaluasi terhadap kriteria agar dapat
memilih diantara alternatif tersebut sebagai tindakan kebijakan (Dunn,2003)
Alternatif kebijakan (Policy Alternatives ) adalah arah tindakan
yang secara potensial tersedia yang dapat memberikan sumbangan kepada
pencapaian nilai dan pemecahan masalah kebijakan (Dunn, 2003).
Ada 2 Teknik
pokok di dalam memformulasikan alternative kebijakan, yakni :
1.
Memodifikasi solusi / Kebijakan yang berlaku
2.
Melakukan feasible
manipulation yaitu merumuskan alternatif kebijakan dengan cara mencari atau
dengan cara merekayasa berdasarkan input yang diperoleh sehingga kita bisa
menyusun alternatif dengan menyusun variabel kebijakan dan menentukan tingkat rekayasa.
Penentuan beberapa alternative
kebijakan didasarkan atas masukan- masukan dari stakeholders yang ada dan atau
berdasarkan pengalaman kebijakan yang pernah dibuat sebelumnya terhadap
permasalahan yang sama atau hampir sama.
Berdasarkan
dengan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijabarkan pada bab
sebelumnya, maka penyusun mengajukan empat alternative kebijakan yang nantinya
dievaluasi berdasarkan kriteria-kriteria yang relevan dengan kebijakan yang
akan dihasilkan. Adapun keempat alternatif kebijakan yang akan diajukan,
sebagai berikut:
1.
Status Quo
Status quo merupakan
salah satu alternatif kebijakan, dimana yang dimaksud dengan status quo ialah
tetap menerapkan kebijakan saat ini.. alternative status quo dimaksudkan untuk
membandingkan kebijakan yang sudah ada dengan alternative kebijakan baru yang
ditawarkan.
2. Kebijakan
tentang perbaikan pelayanan transportasi umum
Kebijakan
tentang perbaikan pelayanan transportasi umum harus segera dilakukan dengan
cara :
a. Transjakarta
dan Commuterline dibebaskan tarif
atau diminimalkan biaya dengan menggunakan alokasi dana dari pajak kendaraan
bermotor.
b. Pajak
kendaraan umum dan retribusi seperti Kopaja dan Bis Kota di bebaskan agar
tariff penggunaan kendaraan umum menjadi rendah dan terjangkau masayarakat. Hal
itu bisa memicu pemilik Kopaja dan Bis kota melakukan perbaikan pelayanan.
c. Memberikan
subsidi BBM pada kendaraan umum.
d. Setiap
perusahaan atau industry yang karyawannya banyak wajib memberikan fasilitas bis
kantor yang menjemput para pegawai.
3. Untuk
mengurangi laju pertumbuhan kendaraan bermotor
Kebijakan yang paling urgent untuk dilakukan adalah menekan laju pertumbuhan jumlah
kendaraan bermotor di Jakarta. Untuk mengurangi laju pertumbuhan kendaraan
bermotor dapat dilakukan beberapa kebijakan,yaitu :
a. Mencabut
kebijakan Low Cost Green Car atau
mobil murah.
b. Meningkatkan
pajak kendaraan bermotor.
c. Memperketat
aturan tentang pembelian kendaraan bermotor.
d. Melarang
atau meningkatkan pajak pembelian kendaraan bermotor secara kredit.
e. Memperketat
dan meningkatkan standart pengeluaran SIM.
4.
Memindahkan Pusat Perekonomian/Pemerintahan
Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas yang
sudah parah di ibu kota sudah sepantasnya ada kebijakan memisahkan pusat
pemerintahan dengan pusat perekonomian. Selain menanggulangi kemacetan juga
dapat menghasilkan pemerataan pembangunan.
BAB IV
ALTERNATIF KEBIJAKAN TERPILIH
Setelah
proses penentuan alternatif kebijakan dilaksanakan di mana terdapat empat
alternatif yang dianggap paling efektif dalam mewujudkan tujuan kebijakan, maka
selanjutnya adalah memilih alternatif kebijakan yang terbaik untuk kemudian
direkomendasikan kepada Pemerintah DKI Jakarta. Rekomendasi disini berarti
proses mengevaluasi atau menilai keempat opsi atau alternatif kebijakan
tersebut untuk menentukan mana tindakan kebijakan yang terbaik dan kontekstual
untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas yang terjadi di DKI Jakarta
Adapun kriteria-kriteria yang dapat dipakai untuk mengukur
kelayakan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Resiko politik
Resiko politik
berkaitan dengan aspek-aspek politik yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan.
Hal ini berkenaan dengan adanya tekanan dari legeslatif dan kepala daerah
sebagai pejabat politik yang mempunyai
kepentingan. Selain itu risiko politik juga mencakup dampak dari pelaksanaan
kebijakan tersebut terhadap kehidupan politik di daerah. Kriteria ini perlu
dipertimbangkan agar kebijakan yang dibuat tidak menimbulkan permasalahan
ataupun pertentangan yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan.
2.
Biaya
Kriteria biaya
mencakup beban biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan. Berkaitan dengan
biaya, policy maker perlu
mempertimbangan kondisi anggaran (APBD) apabila kebijakan tersebut diterapkan .
Dalam hal ini, yang perlu dipikirkan adalah apakah APBD mampu menopang
kebijakan tersebut. Apakah kebijakan tersebut mengurangi atau justru menambah
beban pemerintah daerah. Selain itu perlu dipikirkan juga pengaruh kebijakan
terhadap pendapatan maupun pengeluaran pemerintah kemudian.
3.
Proses
implementasi
Selain risiko
pilitik dan biaya, salah satu kriteria yang perlu dipertimbangkan adalah proses
implementasi kebijakan tersebut. Pertimbangan ini mencakup kemudahan-kemudahan
dalam penerapan kebijakan dimaksud sehingga tidak mengalami kendala baik itu
kendala biaya, maupun kendala sosial khususnya dalam lingkup internal
pemerintah. Pertimbangan-pertimbangan terkait proses implementasi mencakup
siapa yang akan melaksanakan kebijakan tersebut, apakah proses implementasinya
mempengaruhi biaya, sarana apa yang dipakai untuk mengimplementasikan kebijakan
tersebut, dan apa dampak lanjut dari proses implementasi tersebut.
4.
Legalitas
Setiap kebijakan
harus mempunyai dasar hukum yang jelas agar dapat dipertanggungjawabkan dan
tidak berbenturan dengan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan lain dari
program-program pemerintah. Minimal aspek hukum yang menjadi kriteria di sini
sejalan dengan program pemerintah lainnya yang berorientasi pada kesehateraan
rakyat. Karena itu yang menjadi dasar pertimbangan dalam kriteria ini adalah
apakah kebijakan tersebut tidak berbenturan dengan program pemerintah lainnya
yang juga berorientas pada kesejahteraan rakyat, apakah kebijakan tersebut
sejalan dengan program pemerintah pusat, apakah kebijakan tersebut sejalan
dengan maksud Pancasila dan UUD 1945.
5.
Pendekatan
Stakeholder
Kriteria ini juga perlu
dipertimbangkan karena kebijakan harus mendapat persetujuan bersama sehingga
masing-masing pihak memiliki rasa tanggung jawab yang sama apabila kebijakan
tersebut dilaksanakan. Kriteria ini penting mengingat institusi pemerintah
merupakan institusi yang multi
staheholder dan multi intereset.
6.
Waktu Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan kebijakan agar
mencapai tujuan yang ingin dicapai merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan untuk menentukan kebijakan
7.
Keamanan
Maksud keamanan disini adalah ada
tidaknya gejolak yang akan muncul apabila kebijakan terpilih diimplementasikan.
Setelah
menetapkan kriteria-kriteria yang dianggap relevan maka langkah selanjutnya
adalah mengevaluasi alternatif-alternatif kebijakan yang telah dipilih
berdasarkan kriteria-kriteria yang ada. Proses evaluasi ini dimaksudkan untuk
menguji apakan kriteria-kriteria tersebut layak untuk dieksekusi. Dalam proses evaluasi perlu diuraikan aspek
positif dan negatif dari masing-masing alternatif kebijakan berdasarkan
kirteria-kriteria yang ada.
Evaluasi terhadap
alternatif kebijakan dilakukan satu per satu, sebagai berikut:
1.
Status Quo
Memberlakukan
kebijakan yang sudah ada.
2. Kebijakan tentang
perbaikan pelayanan transportasi umum harus segera dilakukan dengan cara :
e. Transjakarta
dan Commuterline dibebaskan tarif
atau diminimalkan biaya dengan menggunakan alokasi dana dari pajak kendaraan
bermotor.
f. Pajak
kendaraan umum dan retribusi seperti Kopaja dan Bis Kota di bebaskan agar
tariff penggunaan kendaraan umum menjadi rendah dan terjangkau masayarakat. Hal
itu bisa memicu pemilik Kopaja dan Bis kota melakukan perbaikan pelayanan.
g. Memberikan
subsidi BBM pada kendaraan umum.
h. Setiap
perusahaan atau industry yang karyawannya banyak wajib memberikan fasilitas bis
kantor yang menjemput para pegawai.
3.
Kebijakan yang paling urgent
untuk dilakukan adalah menekan laju pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di
Jakarta. Untuk mengurangi laju pertumbuhan kendaraan bermotor dapat dilakukan
beberapa kebijakan,yaitu :
a. Mencabut
kebijakan Low Cost Green Car atau
mobil murah.
b. Meningkatkan
pajak kendaraan bermotor.
c. Memperketat
aturan tentang pembelian kendaraan bermotor.
d. Melarang
atau meningkatkan pajak pembelian kendaraan bermotor secara kredit.
e. Memperketat
dan meningkatkan standart pengeluaran SIM.
4.
Memindahkan Pusat Pemerintahan / memisahkan pusat pemerintahan
dengan pusat ekonomi.
Kepadatan penduduk di Daerah Khusus Ibukota Jakarta sudah pada
tahap menghawatirkan. Hal ini terjadi karena Jakarta merupakan pusat
pemerintahan sekaligus pusat perekonomian. Untuk mengurangi kepadatan ada
alternative kebijakan untuk memisahkan atau memindahkan ibu kota Negara.
Setelah
proses evaluasi berdasarkan kriteria-kriteria yang relevan telah ditetapkan
terhadap kebijakan yang ada, maka untuk memudahkan analis memutuskan alternatif
mana yang terbaik untuk diusulkan maka perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut
yang mengacu pada evaluasi kuantitatif.
Secara umum
istilah evaluasi disamakan dengan penafsiran (appraisal), pemberian angka (rating)
dan penilaian (assessment). Dalam
arti yang spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai
atau manfaat hasil kebijakan (Dunn,2003) serta penentuan kebijakan dengan
menggunakan analisis Metode Analytical Hierarchy Analysis (AHP) dan Analytical
Network Analysis (ANP) agar hasilnya lebih akurat.
Kedua metode ini dapat digunakan dalam analisis kebijakan publik karena sama-sama
merupakan multi criteria decision making (MCDM). Metode AHP/ANP, yang
diperkenalkan pertama kali oleh Thomas Saaty (1990), sangat membantu penetapan
alternatif terbaik secara obyektif dan rasional. Dengan demikian proses
penetapan alternatif kebijakan tidak lagi bersifat normatif dan intuitif,
tetapi lebih berdasarkan argumentasi rasional.
Menurut Saaty (1990) dan
Johnson (1990) AHP dan ANP terdiri atas 4 langkah berikut:
Ø Langkah 1:
Merumuskan hirarki kebijakan dgmemilah atau men-dekomposisi-kan unsur-unsur
pokok masalah kebijakan.
Ø Langkah 2:
Melakukan pairwise comparisons (perbandingan berpasangan) terhadap
alternatif kebijakan dan kriteria penilaian.
Ø Langkah 3:
Menggunakan metode Nilai Eigen (eigenvalue) untuk menentukan pengaruh
relatif tiap kriteria dan alternatif kebijakan dalam pencapaian tujuan
kebijakan.
Ø Langkah 4: Meng-agregasi-kan nilai setiap Alternatif
Kebijakan dengan bobot relatif kriteria. Gunakan nilai agregat tersebut sebagai
dasar penetapan alternatif terbaik.
AHP dan ANP
biasanya menggunakan data tingkat ordinal dengan menerapkan Skala Saaty (1990)
sebagai berikut
Skala
|
Arti
|
1
|
Sama Penting (Equal importance)
|
3
|
Sedikit lebih penting (Moderate
importance of one over another)
|
5
|
Lebih Penting
|
7
|
Sangat Penting (Strong
Importance)
|
9
|
Mutlak sangat penting (
Absolutely very importance)
|
2,4,6,8
|
Nilai nilai tengah antara 2
nilai berdekatan
|
1/3-1/9
|
Nilai-nilai kebaikan
(reciprocals).Bila aktifitas I bila dibandingkan dengan akitfitas j. mendapat
salah satu nilai 1 s/d 9 aktifitas j mendapat kebalikan nilai tersebut bila
dibandingkan denga i
|
Sumber:Saaty,T.L “Ratio
scales derives from perturbations of consistent judgment”Behaviormetrika.1990.No.28,PP 1-2
Di dalam
mengevalusi alternatif kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya, terlebih
dahulu akan dibuat nilai skor masing-masing variabel (alternatif kebijakan),
adapun skor pengkategorian adalah sebagai berikut:
Skor 4 : Sangat Baik
Skor 3 : Baik
Skor 2 : Kurang Baik
Skor 1 : Buruk
Berdasarkan pemberian nilai scoring diatas, nilai
terhadap masing-masing kriteria yang relevan adalah sama yaitu: 4 nilai
tertinggidan 1 nilai terendah. Adapun untuk proses kategorisasi alternatif
kebijakan digunakan interval=0,6 dan kategorinya sebagai berikut:
1,0 s/d
1,7--------- Buruk
1,8 s/d
2,5--------- Kurang Baik
2,6 s/d
3,3--------- Baik
3,4 s/d
4,1--------- Sangat Baik
Setelah dibuat
metode scoring sebagaimana diatas, maka langkah selanjutnya yakni membuat table
evaluasi table ini digunakan untuk memudahkan dalam proses evaluasi sehingga
bisa diketahui mana alternatif kebijakan yang terbaik.
I.
Penilaian Alternatif
Tanpa Pembobotan (Skoring)
Tabel Evaluasi[2]
KRITERIA
|
ALTERNATIF
|
∑
|
|||
Status Quo
|
Perbaikan pelayanan transportasi umum
|
Menekan laju pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor
|
Memisahkan Pusat Pemerintahan dengan Ekonomi
|
||
Politik
|
7
|
12
|
10
|
4
|
33
|
Biaya
|
10
|
7
|
13
|
1
|
31
|
Implementasi
|
5
|
13
|
9
|
1
|
28
|
Legalitas
|
6
|
11
|
10
|
3
|
30
|
StakeHolder
|
5
|
12
|
9
|
1
|
27
|
Waktu
|
6
|
9
|
12
|
1
|
28
|
Keamanan
|
6
|
13
|
12
|
4
|
35
|
∑
|
|
|
|
|
212
|
KRITERIA
|
ALTERNATIF
|
|||
Status Quo
|
Perbaikan pelayanan transportasi umum
|
Menekan laju pertumbuhan jumlah kendaraan
bermotor
|
Memisahkan Pusat
Pemerintahan dengan Ekonomi
|
|
Politik
|
0.184211
|
0.315789
|
0.263158
|
0.236842
|
Biaya
|
0.285714
|
0.200000
|
0.371429
|
0.142857
|
Implementasi
|
0.147059
|
0.382353
|
0.264706
|
0.205882
|
Legalitas
|
0.157895
|
0.289474
|
0.263158
|
0.289474
|
StakeHolder
|
0.142857
|
0.342857
|
0.257143
|
0.257143
|
Waktu
|
0.187500
|
0.281250
|
0.375000
|
0.156250
|
Keamanan
|
0.136364
|
0.295455
|
0.272727
|
0.295455
|
Perbandingan antar kriteria
|
|||||||||
Kriteria
|
K1
|
K2
|
K3
|
K4
|
K5
|
K6
|
K7
|
∑
|
Bobot
|
K1
|
1.41
|
2.28
|
0.65
|
1.73
|
0.68
|
2.71
|
1.73
|
11.19
|
0.13
|
K2
|
2.28
|
1.41
|
0.76
|
2.08
|
0.82
|
1.41
|
2.65
|
11.42
|
0.13
|
K3
|
3.16
|
2.65
|
1.41
|
2.45
|
2.83
|
1.83
|
2.00
|
16.33
|
0.19
|
K4
|
1.22
|
1.80
|
1.10
|
1.41
|
1.50
|
2.29
|
1.58
|
10.91
|
0.13
|
K5
|
3.32
|
2.83
|
0.71
|
2.12
|
1.41
|
2.12
|
2.00
|
14.51
|
0.17
|
K6
|
1.77
|
1.41
|
1.83
|
3.00
|
1.50
|
1.41
|
1.73
|
12.66
|
0.15
|
K7
|
1.22
|
0.84
|
1.15
|
1.58
|
1.15
|
1.22
|
1.41
|
8.59
|
0.10
|
∑
|
14.40
|
13.22
|
7.61
|
14.38
|
9.89
|
13.00
|
13.11
|
85.60
|
1.00
|
Penilaian Pembobotan Tiap Kriteria yang
Telah Dinormalisasi
Bobot
yang ternormalisasi
|
Eigen
Faktor
|
|||||||||
Kriteria
|
K1
|
K2
|
K3
|
K4
|
K5
|
K6
|
K7
|
∑
|
Bobot
|
|
K1
|
0.10
|
0.17
|
0.08
|
0.12
|
0.07
|
0.21
|
0.13
|
0.88
|
0.13
|
0.13
|
K2
|
0.16
|
0.11
|
0.10
|
0.14
|
0.08
|
0.11
|
0.20
|
0.90
|
0.13
|
0.13
|
K3
|
0.22
|
0.20
|
0.19
|
0.17
|
0.29
|
0.14
|
0.15
|
1.36
|
0.19
|
0.19
|
K4
|
0.09
|
0.14
|
0.14
|
0.10
|
0.15
|
0.18
|
0.12
|
0.91
|
0.13
|
0.13
|
K5
|
0.23
|
0.21
|
0.09
|
0.15
|
0.14
|
0.16
|
0.15
|
1.14
|
0.16
|
0.16
|
K6
|
0.12
|
0.11
|
0.24
|
0.21
|
0.15
|
0.11
|
0.13
|
1.07
|
0.15
|
0.15
|
K7
|
0.09
|
0.06
|
0.15
|
0.11
|
0.12
|
0.09
|
0.11
|
0.73
|
0.10
|
0.10
|
∑
|
1.00
|
1.00
|
1.00
|
1.00
|
1.00
|
1.00
|
1.00
|
7.00
|
1.00
|
1.00
|
III.
Penilaian
Alternatif dengan Pembobotan
KRITERIA
|
Bobot
|
ALTERNATIF
|
Weighted
|
||||||
Alternatif 1
|
Alternatif 2
|
Alternatif 3
|
Alternatif 4
|
A1
|
A2
|
A3
|
A4
|
||
Politik
|
0.131
|
0.18
|
0.32
|
0.26
|
0.24
|
0.02
|
0.04
|
0.03
|
0.03
|
Biaya
|
0.133
|
0.29
|
0.20
|
0.37
|
0.14
|
0.04
|
0.03
|
0.05
|
0.02
|
Implementasi
|
0.191
|
0.15
|
0.38
|
0.26
|
0.21
|
0.03
|
0.07
|
0.05
|
0.04
|
Legalitas
|
0.127
|
0.16
|
0.29
|
0.26
|
0.29
|
0.02
|
0.04
|
0.03
|
0.04
|
StakeHolder
|
0.169
|
0.14
|
0.34
|
0.26
|
0.26
|
0.02
|
0.06
|
0.04
|
0.04
|
Waktu
|
0.148
|
0.19
|
0.28
|
0.38
|
0.16
|
0.03
|
0.04
|
0.06
|
0.02
|
Keamanan
|
0.100
|
0.14
|
0.30
|
0.27
|
0.30
|
0.01
|
0.03
|
0.03
|
0.03
|
∑
|
|
0.18
|
0.31
|
0.29
|
0.22
|
Data ini merupakan penilaian Alternatif dengan pembobotan.
Data penilaian Alternatif dengan pembobotan tiap stakeholder terlampir.
Dengan demikian berdasarkan hasil penilaian yang
menggunakan metode AHP, maka alternatif kebijakan terpilih adalah alternatif II
yang menunjukkan angka paling besar dan merupakan alternatif terpilih yang akan
digunakan yakni perbaikan pelayanan transportasi umum.
BAB V
Rencana Implementasi
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan
menggunakan metode Analitik Hierarki Proses (AHP) , maka dihasilkan alternative
kebijakan yang terbaik dari empat pilihan alternative kebijakan yakni perbaikan pelayanan transportasi umum.
Perbaikan pelayanan transportasi umum dimaksudkan agar warga Jakarta banyak
yang bepergian menggunakan transportasi dapat mengatasi kemacetan yang terjadi
di ibu kota. Kebijakan ini dipilih
berdasarkan pertimbangan dengan tujuh kriteria yaitu : dari segi politik,
biaya, kemudahan pengimplementasian, kemungkinan legalitas kebijakan,
pengakomodasian kepentingan stake holder, waktu menjalankan kebijakan, dan
keamanan apabila kebijakan tersebut dilaksanakan. Dari ketujuh kriteria yang
ada setelah melalui survey akhirnya dapat diketahui urutan hierarki untuk
kriteria yaitu:
1. Implementasi
2. Peran
dan pengamodasian stake holders
3. Waktu
4. Biaya
5. Politik
6. Legalitas
7. Keamanan
Sehingga
kriteria yang paling mempengaruhi pemilihan kebijakan adalah bisa tidaknya
kebijakan itu diimplementasikan oleh pemerintah dan keamanan merupakan kriteria
paling rendah bobotnya.
Langkah- langkah yang harus dilakukan oleh
pemerintah untuk mengurangi kemacetan adalah mengimplementasikan kebijakan
altertanif Kebijakan tentang perbaikan pelayanan transportasi umum. Kebijakan
tentang perbaikan pelayanan transportasi umum harus segera dilakukan dengan
cara :
a. Transjakarta
dan Commuterline dibebaskan tarif
atau diminimalkan biaya dengan menggunakan alokasi dana dari pajak kendaraan
bermotor.
b. Pajak
kendaraan umum dan retribusi seperti Kopaja dan Bis Kota di bebaskan agar tarif
penggunaan kendaraan umum menjadi rendah dan terjangkau masayarakat. Hal itu
bisa memicu pemilik Kopaja dan Bis kota melakukan perbaikan pelayanan.
c. Memberikan
subsidi BBM pada kendaraan angkutan umum. Hal ini diberlakukan agar biaya
operasional kendaraan umum menurun sehingga tariff yang diberlakukan menajdi
rendah dan dapat memicu minat warga menggunakan kendaraan umum.
d. Pemda
DKI harus memberlakukan kebijakan yang menjadikan kendaraan umum menjamin
kenyamanan dan keamanan penumpang. Kebijakan ini bisa dengan memperketat
seleksi penerimaan sopir dan awak bis.
e. Setiap
perusahaan atau industri yang karyawannya banyak wajib memberikan fasilitas bis
kantor yang menjemput para pegawai.
[1] Dunn, William N,
2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (edisi kedua),Gajah Mada University
Press, Yogyakarta. Hal 226
[2] Data ini merupakan penilaian akumulasi dari 4
stakeholder. Data penilaian tiap stakeholder terlampir.
[3]
Data ini merupakan penilaian akumulasi dari 2
Ahli Analis. Data penilaian tiap stakeholder terlampir.
Akumulasi ini menggunakan rumus
Geometric Mean : √x1+x2+…xn (Rumus
saaty) dimana x adalah penilaian pakar n
No comments:
Post a Comment