Tuesday, January 17, 2017

ANALISIS KEBIJAKAN MENANGGULANGI KEMACETAN DI JAKARTA MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)

BAB I
PENDAHULUAN
Transportasi menurut ketentuan Undang-Undang No 14 Tahun 1992 adalah simpul dan atau ruang kegiatan yang dihubungkan oleh ruang lalu lintas sehingga dapat membentuk suatu kesatuan sistem untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Alat transportasi sesuai kaidah ekonomi dibedakan menjadi dua yaitu transportasi pribadi ( Private Goods) dan Transportasi umum ( Impure Public Goods).  Menurut Jonathan Gruber dalam bukunya Public finance and Public Policy (2007) sebagai berikut :
Goods that are pure public goods are characterized by two traits. Firs, they are non-rival in consumption: that is, my consuming or making use of the good dos not in any way affect your opportunity to consume the good. Second, They are non-excludable : even if I want to deny you the opportunity to consume or acces the public good, there is no way I can do so….. most of the goods we think of as public goods are really impure public goods, wich satify these two conditions to some extent, but not fully”.

            Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa Impure public goods adalah barang semi publik, barang atau jasa yang ada persaingan untuk mendapatkan tetapi sedikit, dan tidak ada kepemilikan sepihak dari barang tersebut akan tetapi tidak penuh. Untuk mendapatkan barang harus dengan sedikit persaingan dan ada sedikit “kepemilikan” dalam barang tersebut. Dari pernyataan Gruber dapat digunakan untuk mengidentifikasi bahwa transportasi umum dapat dikategorikan sebagai Impure public goods. Seseorang tidak ingin bersaing secara penuh dan tidak ada kepemilikan sepihak dari perorangan untuk transportasi umum. Yang menyebabkan masalah pada public transportations di Indonesia adalah cara pandang ekonomi masih menggunakan teori ekonomi neoklasik yang tidak memperhatikan prinsip ekonomi kerakyatan. Dalam bukunya Alfred Marshall, Principles of Economic (1890) menyebutkan prinsip ekonomi hanya bertujuan untuk mencapai efisiensi dan menemukan keseimbangan yang optimal. Kajian tentang ilmu ekonomi sebagai sudut pandang pembuat kebijakan hanya berdasar pada prinsip efisiensi riil. Kelemahan teori ekonomi Neo-Klasik adalah tidak memperhatikan aspek social sebagai sebuah ekternalitas yang harus dimasukkan dalam mengkaji masalah ekonomi public. Padahal teori Neoklasik sudah di tentang dan berusaha diruntuhkan oleh ilmuan ekonomi modern. Diawali oleh Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest, and mooney (1936) menyatakan bahwa pernanan ekonomi dan filosofis politik tidak dapat dipisahkan. Politik dalam hal ini dapat disederhanakan menjadi social atau kerakyatan. Perjuangan Keynes dilanjutkan oleh Gunnar Myrdal dengan bukunya The Political Element in Development of Economic Theory (1975) bersama Galbraith dengan bukunya Economic and the Public Purpose (1971) menyatakan fungsi ilmu ekonomi adalah menerangkan satu proses ekonomi dimana perorangan memperoleh pelayanan.
Analisis dapat dimulai dari populasi kendaraan bermotor di Jakarta yang merunut data jumlah populasinya tidak terkontrol. Dari data salah satu portal berita nasional Antara News (6/01/2015) jumlah kendaraan bermotor hingga akhir 2014 di Jakarta sebanyak 17.523.967 unit dengan rincian 13.084.372 unit sepeda motor, 3.226.009 unit mobil pribadi, 673.661 unit mobil barang, 362.066 unit bus, dan 137.859 kendaraan khusus. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya jumlah kendaraan bermotor di Jakarta bertambah sebanyak 5.500 hingga 6.000 unit kendaraan perhari (data berdasarkan jumlah STNK yang dikeluarkan samsat). Dapat disimpulkan dengan jumlah 13jt an unit dan bertambah 6.000 an unit perhari dalam setahun volume kendaraan bermotor di Jakrata naik 12% pertahun, sungguh sebuah jumlah yang fantastis untuk kota metropolitas yang kepadatan penduduknya sangat tinggi. Masih dari sumber data yang sama pertummbuhan infrastruktur berupa jalan di Jakarta  hanya 0,01 % pertahun. Pertumbuhan jalan  yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Sesuai dengan teori yang digunakan diawal, pemerintah tidak ikut campur dalam mengontrol populasi jumlah kendaraan yang ada di Jakarta, sepenuhnya dilepaskan pada mekanisme pasar. Demand yang tinggi dari penduduk Jakarta akan kendaraan bermotor pribadi dibebaskan oleh pemerintah dengan Suplay dari pihak privat. Salah satu kebijakan yang mendasari analisa tersebut adalah kebijakan pemerintah tentang mobil murah dengan dalih Low Cost Green Car (LCGC). Dengan diberlakukan kebijakan tersebut demand akan kendaran bermotor semakin meningkat dan meningkatkan jumlah pertumbuhan kendaraan bermotor secara signifikan. Di lain sisi peningkatan pelayanan di bidang infrastruktur dan transportasi umum tidak dibenahi. Sehingga masyarakat lebih nyaman bepergian menggunakan kendaraan pribadi masing-masing dan kemacetanpun tidak terhindarkan. Pelayanan Bus Transjakarta yang masih kurang dapat dilihat hanya dapat menjangkau daerah-daerah utama dan masih belum tertibnya pengguna jalan yang masih menggunakan jalus Bus Transjakarta menyebabkan Bus tidak bisa On Time. Disediakannya Communter line memberikan sedikit angin segar untuk mengurangi pengguaan kendaraan pribadi. Masalahnya Commuter Line sama seperti Bus Transjakarta yang hanya bisa menjangkau daerah-daerah utama. Tidak disediakan transportasi umum/khusus untuk digunakan dari post-pos pemberhentian Busway dan Commuterline menyisakan masalah tersendiri bagi penggunanya. Bus Kota dan Kopaja semakin hari semakin kehilangan kepercayaan dari pengguna. Fasilitas yang tidak nyaman dan keamanan yang tidak terjamin merupakan alasan bagi masyarakat untuk enggan menggunakannnya.



BAB II
MASALAH KEBIJAKAN
Sebelum memecahkan sebuah masalah, maka langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah merumuskan masalah. Menurut Dunn perumusan masalah dapat dipandang sebagai proses empat fase yang saling tergantung, yaitu pencarian masalah (problem search), pendefinisian masalah (problem definition), spesifikasi masalah (problem specification) dan pengenalan masalah (problem sensing).[1]
1.      Situasi Masalah
Dari data yang telah penulis sampaikan di muka bahwa jumlah kendaraan bermotor hingga akhir 2014 di Jakarta sebanyak 17.523.967 unit dengan rincian 13.084.372 unit sepeda motor, 3.226.009 unit mobil pribadi, 673.661 unit mobil barang, 362.066 unit bus, dan 137.859 kendaraan khusus. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya jumlah kendaraan bermotor di Jakarta bertambah sebanyak 5.500 hingga 6.000 unit kendaraan perhari (data berdasarkan jumlah STNK yang dikeluarkan samsat). Dapat disimpulkan dengan jumlah 13jt an unit dan bertambah 6.000 an unit perhari dalam setahun volume kendaraan bermotor di Jakrata naik 12% pertahun, sungguh sebuah jumlah yang fantastis untuk kota metropolitan yang kepadatan penduduknya sangat tinggi. Masih dari sumber data yang sama pertummbuhan infrastruktur berupa jalan di Jakarta  hanya 0,01 % pertahun. Pertumbuhan jalan  yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Itulah yang menjadi permasalahan yang menyebabkan kemacetan yang parah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Masalah tersebut harus segera ditangani dengan kebijakan yang tepat sasaran agar kemacetan di Jakarta bisa diatasi secara efektif dan efisien.

2.      Meta Masalah
Berdasarkan situasi masalah di atas ditemukakan beberapa permasalahan pokok yakni:
a.       Sistem transportasi umum belum baik : Busway, Commuterline, Kopaja, Bemo, Taksi, dll  .  
b.      Populasi transportasi privat terlalu banyak. 
c.       Masalah penataan wilayah perekonomian : Jakartasentris

3.      Masalah Substansif
Berdasarkan situasi masalah dan meta masalah, maka ditemukan masalah substantifnya adalah tidak seimbangnya pertumbuhan kendaraan bermotor dengan pertumbuhan infrastruktur menyebabkan kemacetan yang parah.

4.      Masalah Formal
Berdasarkan hasil penelusuran mulai dari situasi masalah, meta masalah, dan masalah substantif, maka ditemukan masalah formalnya yakni pada bagaimana formulasi kebijakan pemerintah menekan jumlah populasi kendaraan bermotor dan membenahi sistem transportasi umum untuk mengatasi masalah kemacetan lalulintas.

5.      Tujuan Kebijakan
Bertolak dari pemahaman tentang situasi masalah, meta masalah, masalah substantif dan masalah formal, maka dapat dirumuskan tujuan kebijakannya adalah sebagai berikut:
1. Membuat formulasi yang dapat menganalisa akar permasalahan sehingga Mengatasi kemacetan
2. Menekan penggunaan kendaraan pribadi
3. Memperbaiki sistem transportasi umum

BAB III
ALTERNATIF KEBIJAKAN

            Langkah berikutnya yang harus dilakukan oleh seorang analisis kebijakan setelah merumuskan masalah kebijakan ialah menetukan alternatif kebijakan. Melakukan sebuah penentuan alternatif kebijakan bukan merupakan hal mudah, kerena pembuat kebijakan dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi (Subasono,2005). Sehingga output alternatif kebijakan sangat tergantung seorang analisis kebijakan yang melakukan analisis terhadap suatu kebijakan. Dalam melakukan analisis, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, yakni:
1.      Mengidentifikasi alternatif kebijakan yang telah ditetapkan.
2.      Menetapkan kriteria yang akan digunakan untuk mengevaluasi alternatif kebijakan tersebut.
3.      Melakukan evaluasi terhadap kriteria agar dapat memilih diantara alternatif tersebut sebagai tindakan kebijakan (Dunn,2003)
Alternatif kebijakan (Policy Alternatives ) adalah arah tindakan yang secara potensial tersedia yang dapat memberikan sumbangan kepada pencapaian nilai dan pemecahan masalah kebijakan (Dunn, 2003).
              Ada 2 Teknik pokok di dalam memformulasikan alternative kebijakan, yakni :
1.         Memodifikasi solusi / Kebijakan yang berlaku
2.         Melakukan feasible manipulation yaitu merumuskan alternatif kebijakan dengan cara mencari atau dengan cara merekayasa berdasarkan input yang diperoleh sehingga kita bisa menyusun alternatif dengan menyusun variabel kebijakan dan   menentukan tingkat rekayasa.
            Penentuan beberapa alternative kebijakan didasarkan atas masukan- masukan dari stakeholders yang ada dan atau berdasarkan pengalaman kebijakan yang pernah dibuat sebelumnya terhadap permasalahan yang sama atau hampir sama.

Berdasarkan dengan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, maka penyusun mengajukan empat alternative kebijakan yang nantinya dievaluasi berdasarkan kriteria-kriteria yang relevan dengan kebijakan yang akan dihasilkan. Adapun keempat alternatif kebijakan yang akan diajukan, sebagai berikut:
1.      Status Quo
Status quo merupakan salah satu alternatif kebijakan, dimana yang dimaksud dengan status quo ialah tetap menerapkan kebijakan saat ini.. alternative status quo dimaksudkan untuk membandingkan kebijakan yang sudah ada dengan alternative kebijakan baru yang ditawarkan.
2.      Kebijakan tentang perbaikan pelayanan transportasi umum
Kebijakan tentang perbaikan pelayanan transportasi umum harus segera dilakukan dengan cara :
a.       Transjakarta dan Commuterline dibebaskan tarif atau diminimalkan biaya dengan menggunakan alokasi dana dari pajak kendaraan bermotor.
b.      Pajak kendaraan umum dan retribusi seperti Kopaja dan Bis Kota di bebaskan agar tariff penggunaan kendaraan umum menjadi rendah dan terjangkau masayarakat. Hal itu bisa memicu pemilik Kopaja dan Bis kota melakukan perbaikan pelayanan.
c.       Memberikan subsidi BBM pada kendaraan umum.
d.      Setiap perusahaan atau industry yang karyawannya banyak wajib memberikan fasilitas bis kantor yang menjemput para pegawai.




3.      Untuk mengurangi laju pertumbuhan kendaraan bermotor
Kebijakan yang paling urgent untuk dilakukan adalah menekan laju pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta. Untuk mengurangi laju pertumbuhan kendaraan bermotor dapat dilakukan beberapa kebijakan,yaitu :
a.       Mencabut kebijakan Low Cost Green Car atau mobil murah.
b.      Meningkatkan pajak kendaraan bermotor.
c.       Memperketat aturan tentang pembelian kendaraan bermotor.
d.      Melarang atau meningkatkan pajak pembelian kendaraan bermotor secara kredit.
e.       Memperketat dan meningkatkan standart pengeluaran SIM.
4.               Memindahkan Pusat Perekonomian/Pemerintahan
Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas yang sudah parah di ibu kota sudah sepantasnya ada kebijakan memisahkan pusat pemerintahan dengan pusat perekonomian. Selain menanggulangi kemacetan juga dapat menghasilkan pemerataan pembangunan.















BAB IV
ALTERNATIF KEBIJAKAN TERPILIH

                 Setelah proses penentuan alternatif kebijakan dilaksanakan di mana terdapat empat alternatif yang dianggap paling efektif dalam mewujudkan tujuan kebijakan, maka selanjutnya adalah memilih alternatif kebijakan yang terbaik untuk kemudian direkomendasikan kepada Pemerintah DKI Jakarta. Rekomendasi disini berarti proses mengevaluasi atau menilai keempat opsi atau alternatif kebijakan tersebut untuk menentukan mana tindakan kebijakan yang terbaik dan kontekstual untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas yang terjadi di DKI Jakarta
Adapun kriteria-kriteria yang dapat dipakai untuk mengukur kelayakan tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Resiko politik
            Resiko politik berkaitan dengan aspek-aspek politik yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Hal ini berkenaan dengan adanya tekanan dari legeslatif dan kepala daerah sebagai pejabat politik  yang mempunyai kepentingan. Selain itu risiko politik juga mencakup dampak dari pelaksanaan kebijakan tersebut terhadap kehidupan politik di daerah. Kriteria ini perlu dipertimbangkan agar kebijakan yang dibuat tidak menimbulkan permasalahan ataupun pertentangan yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan.
2.        Biaya
            Kriteria biaya mencakup beban biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan. Berkaitan dengan biaya, policy maker perlu mempertimbangan kondisi anggaran (APBD) apabila kebijakan tersebut diterapkan . Dalam hal ini, yang perlu dipikirkan adalah apakah APBD mampu menopang kebijakan tersebut. Apakah kebijakan tersebut mengurangi atau justru menambah beban pemerintah daerah. Selain itu perlu dipikirkan juga pengaruh kebijakan terhadap pendapatan maupun pengeluaran pemerintah kemudian.
3.        Proses implementasi
            Selain risiko pilitik dan biaya, salah satu kriteria yang perlu dipertimbangkan adalah proses implementasi kebijakan tersebut. Pertimbangan ini mencakup kemudahan-kemudahan dalam penerapan kebijakan dimaksud sehingga tidak mengalami kendala baik itu kendala biaya, maupun kendala sosial khususnya dalam lingkup internal pemerintah. Pertimbangan-pertimbangan terkait proses implementasi mencakup siapa yang akan melaksanakan kebijakan tersebut, apakah proses implementasinya mempengaruhi biaya, sarana apa yang dipakai untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, dan apa dampak lanjut dari proses implementasi tersebut.
4.        Legalitas
            Setiap kebijakan harus mempunyai dasar hukum yang jelas agar dapat dipertanggungjawabkan dan tidak berbenturan dengan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan lain dari program-program pemerintah. Minimal aspek hukum yang menjadi kriteria di sini sejalan dengan program pemerintah lainnya yang berorientasi pada kesehateraan rakyat. Karena itu yang menjadi dasar pertimbangan dalam kriteria ini adalah apakah kebijakan tersebut tidak berbenturan dengan program pemerintah lainnya yang juga berorientas pada kesejahteraan rakyat, apakah kebijakan tersebut sejalan dengan program pemerintah pusat, apakah kebijakan tersebut sejalan dengan maksud Pancasila dan UUD 1945.
5.        Pendekatan Stakeholder
            Kriteria ini juga perlu dipertimbangkan karena kebijakan harus mendapat persetujuan bersama sehingga masing-masing pihak memiliki rasa tanggung jawab yang sama apabila kebijakan tersebut dilaksanakan. Kriteria ini penting mengingat institusi pemerintah merupakan institusi yang multi staheholder dan multi intereset.
6.        Waktu Pelaksanaan
            Waktu pelaksanaan kebijakan agar mencapai tujuan yang ingin dicapai merupakan faktor penting yang harus diperhatikan untuk menentukan kebijakan
7.        Keamanan
            Maksud keamanan disini adalah ada tidaknya gejolak yang akan muncul apabila kebijakan terpilih diimplementasikan.
            Setelah menetapkan kriteria-kriteria yang dianggap relevan maka langkah selanjutnya adalah mengevaluasi alternatif-alternatif kebijakan yang telah dipilih berdasarkan kriteria-kriteria yang ada. Proses evaluasi ini dimaksudkan untuk menguji apakan kriteria-kriteria tersebut layak untuk dieksekusi.  Dalam proses evaluasi perlu diuraikan aspek positif dan negatif dari masing-masing alternatif kebijakan berdasarkan kirteria-kriteria yang ada.
Evaluasi terhadap alternatif kebijakan dilakukan satu per satu, sebagai berikut:

1.        Status Quo
Memberlakukan kebijakan yang sudah ada.
2. Kebijakan tentang perbaikan pelayanan transportasi umum harus segera dilakukan dengan cara :
e.       Transjakarta dan Commuterline dibebaskan tarif atau diminimalkan biaya dengan menggunakan alokasi dana dari pajak kendaraan bermotor.
f.       Pajak kendaraan umum dan retribusi seperti Kopaja dan Bis Kota di bebaskan agar tariff penggunaan kendaraan umum menjadi rendah dan terjangkau masayarakat. Hal itu bisa memicu pemilik Kopaja dan Bis kota melakukan perbaikan pelayanan.
g.      Memberikan subsidi BBM pada kendaraan umum.
h.      Setiap perusahaan atau industry yang karyawannya banyak wajib memberikan fasilitas bis kantor yang menjemput para pegawai.
3.      Kebijakan yang paling urgent untuk dilakukan adalah menekan laju pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta. Untuk mengurangi laju pertumbuhan kendaraan bermotor dapat dilakukan beberapa kebijakan,yaitu :
a.       Mencabut kebijakan Low Cost Green Car atau mobil murah.
b.      Meningkatkan pajak kendaraan bermotor.
c.       Memperketat aturan tentang pembelian kendaraan bermotor.
d.      Melarang atau meningkatkan pajak pembelian kendaraan bermotor secara kredit.
e.       Memperketat dan meningkatkan standart pengeluaran SIM.
4.                   Memindahkan Pusat Pemerintahan / memisahkan pusat pemerintahan dengan pusat ekonomi.
Kepadatan penduduk di Daerah Khusus Ibukota Jakarta sudah pada tahap menghawatirkan. Hal ini terjadi karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian. Untuk mengurangi kepadatan ada alternative kebijakan untuk memisahkan atau memindahkan ibu kota Negara.

                 Setelah proses evaluasi berdasarkan kriteria-kriteria yang relevan telah ditetapkan terhadap kebijakan yang ada, maka untuk memudahkan analis memutuskan alternatif mana yang terbaik untuk diusulkan maka perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut yang mengacu pada evaluasi kuantitatif.
            Secara umum istilah evaluasi disamakan dengan penafsiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment). Dalam arti yang spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan (Dunn,2003) serta penentuan kebijakan dengan menggunakan analisis Metode Analytical Hierarchy Analysis (AHP) dan Analytical Network Analysis (ANP) agar hasilnya lebih akurat. Kedua metode ini dapat digunakan dalam analisis kebijakan publik karena sama-sama merupakan multi criteria decision making (MCDM). Metode AHP/ANP, yang diperkenalkan pertama kali oleh Thomas Saaty (1990), sangat membantu penetapan alternatif terbaik secara obyektif dan rasional. Dengan demikian proses penetapan alternatif kebijakan tidak lagi bersifat normatif dan intuitif, tetapi lebih berdasarkan argumentasi rasional. 
                 Menurut Saaty (1990) dan Johnson (1990) AHP dan ANP terdiri atas 4 langkah berikut:
Ø Langkah 1: Merumuskan hirarki kebijakan dgmemilah atau men-dekomposisi-kan unsur-unsur pokok masalah kebijakan.
Ø Langkah 2: Melakukan pairwise comparisons (perbandingan berpasangan) terhadap alternatif kebijakan dan kriteria penilaian.   
Ø Langkah 3: Menggunakan metode Nilai Eigen (eigenvalue) untuk menentukan pengaruh relatif tiap kriteria dan alternatif kebijakan dalam pencapaian tujuan kebijakan.
Ø Langkah 4:  Meng-agregasi-kan nilai setiap Alternatif Kebijakan dengan bobot relatif kriteria. Gunakan nilai agregat tersebut sebagai dasar penetapan alternatif terbaik. 
AHP dan ANP biasanya menggunakan data tingkat ordinal dengan menerapkan Skala Saaty (1990) sebagai berikut
Skala
Arti
1
Sama Penting (Equal importance)
3
Sedikit lebih penting (Moderate importance of one over another)
5
Lebih Penting
7
Sangat Penting (Strong Importance)
9
Mutlak sangat penting ( Absolutely very importance)
2,4,6,8
Nilai nilai tengah antara 2 nilai berdekatan
1/3-1/9
Nilai-nilai kebaikan (reciprocals).Bila aktifitas I bila dibandingkan dengan akitfitas j. mendapat salah satu nilai 1 s/d 9 aktifitas j mendapat kebalikan nilai tersebut bila dibandingkan denga i
Sumber:Saaty,T.L “Ratio scales derives from perturbations of consistent               judgment”Behaviormetrika.1990.No.28,PP 1-2
                 Di dalam mengevalusi alternatif kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya, terlebih dahulu akan dibuat nilai skor masing-masing variabel (alternatif kebijakan), adapun skor pengkategorian adalah sebagai berikut:
Skor 4       : Sangat Baik
Skor 3       : Baik
Skor 2       : Kurang Baik
Skor 1       : Buruk
            Berdasarkan  pemberian nilai scoring diatas, nilai terhadap masing-masing kriteria yang relevan adalah sama yaitu: 4 nilai tertinggidan 1 nilai terendah. Adapun untuk proses kategorisasi alternatif kebijakan digunakan interval=0,6 dan kategorinya sebagai berikut:
1,0 s/d 1,7--------- Buruk
1,8 s/d 2,5--------- Kurang Baik
2,6 s/d 3,3--------- Baik
3,4 s/d 4,1--------- Sangat Baik
            Setelah dibuat metode scoring sebagaimana diatas, maka langkah selanjutnya yakni membuat table evaluasi table ini digunakan untuk memudahkan dalam proses evaluasi sehingga bisa diketahui mana alternatif kebijakan yang terbaik.


I.                   Penilaian Alternatif Tanpa Pembobotan (Skoring)

Tabel Evaluasi[2]
KRITERIA
ALTERNATIF
Status Quo
Perbaikan pelayanan transportasi umum
Menekan laju pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor
Memisahkan Pusat Pemerintahan dengan Ekonomi
Politik
7
12
10
4
33
Biaya
10
7
13
1
31
Implementasi
5
13
9
1
28
Legalitas
6
11
10
3
30
StakeHolder
5
12
9
1
27
Waktu
6
9
12
1
28
Keamanan
6
13
12
4
35




212

KRITERIA
ALTERNATIF
Status Quo
Perbaikan pelayanan transportasi umum
Menekan laju pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor
Memisahkan Pusat Pemerintahan dengan Ekonomi
Politik
0.184211
0.315789
0.263158
0.236842
Biaya
0.285714
0.200000
0.371429
0.142857
Implementasi
0.147059
0.382353
0.264706
0.205882
Legalitas
0.157895
0.289474
0.263158
0.289474
StakeHolder
0.142857
0.342857
0.257143
0.257143
Waktu
0.187500
0.281250
0.375000
0.156250
Keamanan
0.136364
0.295455
0.272727
0.295455



II.                Penilaian Pembobotan Tiap Kriteria[3]
Perbandingan antar kriteria
Kriteria
K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
Bobot
K1
1.41
2.28
0.65
1.73
0.68
2.71
1.73
11.19
0.13
K2
2.28
1.41
0.76
2.08
0.82
1.41
2.65
11.42
0.13
K3
3.16
2.65
1.41
2.45
2.83
1.83
2.00
16.33
0.19
K4
1.22
1.80
1.10
1.41
1.50
2.29
1.58
10.91
0.13
K5
3.32
2.83
0.71
2.12
1.41
2.12
2.00
14.51
0.17
K6
1.77
1.41
1.83
3.00
1.50
1.41
1.73
12.66
0.15
K7
1.22
0.84
1.15
1.58
1.15
1.22
1.41
8.59
0.10
14.40
13.22
7.61
14.38
9.89
13.00
13.11
85.60
1.00





Penilaian Pembobotan Tiap Kriteria yang Telah Dinormalisasi
Bobot yang ternormalisasi
Eigen Faktor
Kriteria
K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
Bobot

K1
0.10
0.17
0.08
0.12
0.07
0.21
0.13
0.88
0.13
0.13
K2
0.16
0.11
0.10
0.14
0.08
0.11
0.20
0.90
0.13
0.13
K3
0.22
0.20
0.19
0.17
0.29
0.14
0.15
1.36
0.19
0.19
K4
0.09
0.14
0.14
0.10
0.15
0.18
0.12
0.91
0.13
0.13
K5
0.23
0.21
0.09
0.15
0.14
0.16
0.15
1.14
0.16
0.16
K6
0.12
0.11
0.24
0.21
0.15
0.11
0.13
1.07
0.15
0.15
K7
0.09
0.06
0.15
0.11
0.12
0.09
0.11
0.73
0.10
0.10
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
7.00
1.00
1.00



III.             Penilaian Alternatif dengan Pembobotan
KRITERIA
Bobot
ALTERNATIF
Weighted
Alternatif 1
Alternatif 2
Alternatif 3
Alternatif 4
A1
A2
A3
A4
Politik
0.131
0.18
0.32
0.26
0.24
0.02
0.04
0.03
0.03
Biaya
0.133
0.29
0.20
0.37
0.14
0.04
0.03
0.05
0.02
Implementasi
0.191
0.15
0.38
0.26
0.21
0.03
0.07
0.05
0.04
Legalitas
0.127
0.16
0.29
0.26
0.29
0.02
0.04
0.03
0.04
StakeHolder
0.169
0.14
0.34
0.26
0.26
0.02
0.06
0.04
0.04
Waktu
0.148
0.19
0.28
0.38
0.16
0.03
0.04
0.06
0.02
Keamanan
0.100
0.14
0.30
0.27
0.30
0.01
0.03
0.03
0.03

0.18
0.31
0.29
0.22
Data ini merupakan penilaian Alternatif dengan pembobotan. Data penilaian Alternatif dengan pembobotan tiap stakeholder terlampir.
Dengan demikian berdasarkan hasil penilaian yang menggunakan metode AHP, maka alternatif kebijakan terpilih adalah alternatif II yang menunjukkan angka paling besar dan merupakan alternatif terpilih yang akan digunakan yakni  perbaikan pelayanan transportasi umum.


BAB V

Rencana Implementasi
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan metode Analitik Hierarki Proses (AHP) , maka dihasilkan alternative kebijakan yang terbaik dari empat pilihan alternative kebijakan yakni perbaikan pelayanan transportasi umum. Perbaikan pelayanan transportasi umum dimaksudkan agar warga Jakarta banyak yang bepergian menggunakan transportasi dapat mengatasi kemacetan yang terjadi di ibu kota.  Kebijakan ini dipilih berdasarkan pertimbangan dengan tujuh kriteria yaitu : dari segi politik, biaya, kemudahan pengimplementasian, kemungkinan legalitas kebijakan, pengakomodasian kepentingan stake holder, waktu menjalankan kebijakan, dan keamanan apabila kebijakan tersebut dilaksanakan. Dari ketujuh kriteria yang ada setelah melalui survey akhirnya dapat diketahui urutan hierarki untuk kriteria yaitu:
1.      Implementasi
2.      Peran dan pengamodasian stake holders
3.      Waktu
4.      Biaya
5.      Politik
6.      Legalitas
7.      Keamanan
Sehingga kriteria yang paling mempengaruhi pemilihan kebijakan adalah bisa tidaknya kebijakan itu diimplementasikan oleh pemerintah dan keamanan merupakan kriteria paling rendah bobotnya.
Langkah- langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi kemacetan adalah mengimplementasikan kebijakan altertanif Kebijakan tentang perbaikan pelayanan transportasi umum. Kebijakan tentang perbaikan pelayanan transportasi umum harus segera dilakukan dengan cara :
a.       Transjakarta dan Commuterline dibebaskan tarif atau diminimalkan biaya dengan menggunakan alokasi dana dari pajak kendaraan bermotor.
b.      Pajak kendaraan umum dan retribusi seperti Kopaja dan Bis Kota di bebaskan agar tarif penggunaan kendaraan umum menjadi rendah dan terjangkau masayarakat. Hal itu bisa memicu pemilik Kopaja dan Bis kota melakukan perbaikan pelayanan.
c.       Memberikan subsidi BBM pada kendaraan angkutan umum. Hal ini diberlakukan agar biaya operasional kendaraan umum menurun sehingga tariff yang diberlakukan menajdi rendah dan dapat memicu minat warga menggunakan kendaraan umum.
d.      Pemda DKI harus memberlakukan kebijakan yang menjadikan kendaraan umum menjamin kenyamanan dan keamanan penumpang. Kebijakan ini bisa dengan memperketat seleksi penerimaan sopir dan awak bis.
e.       Setiap perusahaan atau industri yang karyawannya banyak wajib memberikan fasilitas bis kantor yang menjemput para pegawai.



[1] Dunn, William N, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (edisi kedua),Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Hal 226
[2] Data ini merupakan penilaian akumulasi dari 4 stakeholder. Data penilaian tiap stakeholder terlampir.

[3] Data ini merupakan penilaian akumulasi dari 2 Ahli Analis. Data penilaian tiap stakeholder terlampir.
Akumulasi ini menggunakan rumus Geometric Mean : √x1+x2+…x(Rumus saaty) dimana x adalah penilaian pakar n

No comments:

Post a Comment